Sebenarnya, Indonesialah yang pertama mencanangkan suatu peraturan
khusus mengenai pemberantasan korupsi di Asia. Penguasa Perang Pusat
Kepala Staf Angkatan Darat yang dijabat Jenderal A.H. Nasution
menciptakan suatu peraturan untuk memberantas korupsi yang gejalanya
sudah tampak pada tahun 1958. Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala
Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 Nomor Prt/Peperpu/C 13/1958
Dan Peraturan Pelaksanaannya diikut oleh Penguasa Perang Pusat Kepala
Staf Angkatan Laut Nomor Prt/Z.1./1/7 tanggal 17 April 1958.
Peraturan itu memiliki keistimewaan dari undang-undang yang kemudian
keluar, yaitu Undang-Undang Nomor 24 (Prp) Tahun 1960, Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1971, dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam peraturan tersebut terdapat
sistem pendaftaran harta benda pejabat oleh Badan Pemilik Harta Benda
dan peraturan tentang pengajuan gugatan perdata berdasarkan perbuatan
melanggar hukum (onrechmatige daad) bagi orang yang mempunyai harta benda yang tidak seimbang dengan pendapatannya, tetapi tidak dapat dibuktikan secara pidana.
Peraturan
tentang gugatan perdata itu langsung ke pengadilan tinggi, jadi
memotong salah satu rantai peradilan, yaitu pengadilan negeri. Sebenarnya, sebelum terjadinya desakan masyarakat yang sangat keras
itu, telah dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi yang dipimpin oleh Jaksa
Agung, yang dicanangkan dalam pidato kenegaraan presiden pada tanggal 16
Agustus 1968. Namun, tim ini gagal total. Atas desakan masyarakat itu,
Presiden Soeharto yang sangat pintar merespon desakan masyarakat
dengan gagasan yang menjanjikan tetapi tidak dilaksanakan, membentuk
Komisi 4 yang terdiri atas tokoh masyarakat yang sangat menonjol, yaitu
Mr. Wilopo sebagai ketua merangkap anggota, I.J.Kasimo sebagai
anggota, Prof.Ir.Johannes sebagai anggota dan Anwar Tjkroaminoto
sebagai anggota, serta Mayor Jenderal TNI Sutopo Yuwono sebagai
sekretaris komisi. Lebih menjanjikan lagi, Dr. Mohammad Hatta diangkat
menjadi penasihat presiden sekaligus menjadi penasihat komisi. Akan
tetapi, kenyataanya nasihat mereka tidak mempan menggerakkan prsiden
untuk sungguh-sungguh memberantas korupsi.
Pada tanggal 10 sampai dengan tanggal 12 Agutus 1970 diadakan diskusi
panel Dewan Mahasiswa UI, khusus membahas pemberantasan korupsi dari
segi sosial, politik, ekonomi, dan hukum dengan tema : Korupsi dan
Pembangunan yang Steering Committee-nya adalah
- Dr. S.B. Joedono
- Drs. Marie Muhammad
- Drs. Dorodjatun Kuntjoro Jakti
- Nono Anwar Makarim
- Adnan Buyung Nasution
- Drs. Johny Varma
- Muhammad Nazif.
Prof. Oemar Seno Adji menolak, karena dipandang bertentangan dengan Prinsip presumption of innocence.
Memang Prof. Oemar Seno Adji sarjana hukum pendidikan Belanda (Eropa
Kontinental), bukan penganut Anglo Saxon yang tidak mengenal asas
legalitas, sehingga sejak tahun 1911 sudah dikenal di Inggris shifting burden of proof in certain cases. Yang kedua, mungkin beliau belum membaca pasal 14 Prevention of Corruption Act
1961, Malaysia, yang dengan sistem pelaporan penerimaan pemberian itu,
Artinya, sistem Malaysia itu sangat moderat. Ada semacam sistem
pemutihan pemberian. Hanya berlaku bagi pejabat yang membangkang tidak
mau melaporkan pemebrian itu. Jika si penerima pemberian (gratification)
itu melaporkan dan dinilai kepantasannya oleh komisi, dengan
sendirinya penerima dapat tidur nyenyak setelah diputuskan oleh komisi
apakah pemberian itu tidak pantas dan harus diserahkan kepada negara.
Jumlah pemberian yang harus dilaporkan ditetapkan pula sebesar 500
ringgit. Jika kurang dari itu, tidak wajib melaporkan, artinya berlaku
pembuktian biasa jika merupakan suap.
Dari Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 Ke Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Salah kaprah, bahwa penyebab terus meningkatnya korupsi adalah
perundang-undangan yang kurang lengkap atau kurang keras. Masyarakat dan
bahkan juga beberapa pakar hukum selalu melihat kekurangan
undang-undang yang menyebabkan tidak lancarnya pemberantasan korupsi,
padahal sistem administrasi Negara yang menjadi penyumbang terbesar
terjadinya korupsi. Dengan kata lain , di samping upaya refresif harus
pula ditempuh sistem preventif dan penyelundupan hukum kepada masyarakat
tentang gejaladan bahaya korupsi. Political will Pemerintah juga menjadi syarat mutlak untuk suksesnya pemberantasan korupsi. Suatu sistem pemberantasan korupsi yang hanya berumpu pada jalur
represif, bukan saja tidak mampu memberantas korupsi, bahkan untuk
menahan lajunya korupsi pun tidak akan berhasil. Saat ini, jauh lebih
mudah menghitung jumlah orang yang melaukan korupsi. Orang yang
melakukan korupsi sebenarnya harus menjadi minoritas bukan mayoritas
seperti sekarang ini.
Undang-undang tentang Pemberantasan Korupsi selalu menjadi kambing
hitam, padahal orang hukumnya harus menegakkan undang-undang itu yang
kurang becus , baik pengetahuan hukumnya maupun moral dan mentalitas.
Kata-kata alm. Sugeng Marsigit seorang jaksa, anggota DPR Fraksi Karya
Pembangunan pada waktu Rancangan Undang-undang (Nomor 3 Tahun 1971)
diperdebatkan di DPR yang mengutip pendapat pakar hukum Belanda
Traverne, ternyata benar, Taverne mengatakan : Greef
me geode Officieren van Justitie, geode Rechter Commisarissen en geode
politie ambtenare en ik zal met een slecht Wetbook van
Strafprocesrecht het geode bereiken (berikan
saya hakim yang baik, jaksa yang baik, hakim komisaris yang baik dan
pejabat polisi yang baik, maka saya akan membuat undang-undang hukum
acara pidana yang jelek menjadi baik). Ancaman pidana dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 berupa pidana
penjara maksimun seumur hidup bagi semua delik yang dikategorikan
sebagai korupsi, baik yang kecil, sedang, maupun yang besar, ditambah
dan/atau denda maksimun 30 juta rupiah pada saat harga emas satu gram
3.000 rupiah, merupakan ancaman pidana terberat bagi koruptor di Asia
Tenggara. Maksimun pidana penjara di Malyasia adalah dua puluh tahun
dan minimum 14 hari . Akan tetapi, Malaysia ternyata berhasil menekan
laju korupsi, sedangkan Indonesia gagal total, bahkan selama 28 tahun
berlaku undang-undang itu, tidak seorang pun yang dijatuhi pidana
penjara seumur hidup (Budiadji, Kepada Dolong di Kalimantan Timur
dijatuhi pidana penjara seumur hidup berdasarkan Undang-undang
Peberantasan Kegiatan Subversi). Ada delik yang berasal dari KUHP yang
dimasukkan sebagai delik korupsi, tidak pernah muncul ke pengadilan,
sehingga tidak dapat ditemukan yurisprudensinya, seperti Pasal 387,
388, dan 435 KUHP, Padahal hampir setiap hari ktentuan tersebut
dilanggar. Kemungkinan besar polisi dan jaksa kurang memahami
pasal-pasal tersebut. Sebenarnya, jika
KUHP diterapkan dengan sungguh-sungguh terutama ketentuan tentang delik
suap- menyuap dan penggelapan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau
apabila yurisprudensi tahun 1950-an sampai 1960-an diterapkan, tentunya
semua bisa dituntut sehingga seharusnya disediakan penjara sebesar
kota Bogor.
Perbedaan Antara Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
Jelaslah, bahwa pada umumnya Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jauh
lebih berat dari pada Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971, terutama ancaman
pidananya yang dalam keadaan tertentu dapat dijatuhkan pidana mati.
Dikatakan pada umumnya lebih berat, karena ada juga ketentuan di dalam
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang lebih ringan disbanding dengan
ketentuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971, yaitu maksimun pidana
penjara beberapa delik yang berasal dari KUHP (Pasal 209: maksimun 5
tahun penjara, Pasal 210: maksimun 15 tahun penjara, Pasal 416 :
maksimun 5 tahun penjara Pasal 417: maksimun 7 tahun penjara, dan Pasal
418 : maksimun 5 tahun penjara). Dalam Undang-undang Nomor 3 tahun
1971, semua ancaman pidana penjara delik tersebut adalah maksimun seumur
hidup.
Jadi,
berdasarkan Pasal 1 ayat (2) KUHP, Jika ada perubahan undang-undang,
yang diterapkan adalah ketentuan yang paling menguntungkan terdakwa
bukan undang-undang yang menguntungkan terdakwa. Khusus untuk
delik-delik tertentu dari KUHP ini, penjara yang dijatuhkan tidak
boleh lebih berat daripada pidana penjara yang telah ditetapkan pada
masing-masing delik itu (dalam undang-undang Nomor 31 Tahun 1999). Ada pihak yang berpendapat, seakan-akan Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 itu cacat kerena tidak mempunyai aturan peralihan yang menentukan
undang-undang mana yang diterapkan (yang baru atau yang lama). Menurut
pendapat penulis, ada asas umum yang berlaku, berdasarkan Pasal 103
KUHP yang berbunyi:
Ketentuan-ketentuan
dalam bab sampai Bab VII buku ini juga berlaku bagi
perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perudang-undangan diancam
dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.
Salah
satu ketentuan ketentuan umum itu adalah Pasal 1 ayat (2) KUHP, yang
dalam literatur hukum pidana disebut hukum transitoir. Ketentuan itu
mengatakan bahwa apabila ada perubahan perundang-undangan, maka yang
diterapkan adalah yang paling menguntungkan terdakwa. Asas
lain dalam KUHP adalah asas legalitas yang tercantum di dalam Pasal 1
ayat (1) KUHP, yang pada pokoknya menggariskan bahwa ketentuan
undang-undang yang diterapakan adalah ketentuan undang-undang yang
berlaku pada saat perbuatan dilakukan (lex temporis delicti). Jadi,
ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP merupakan pengecualian dari Pasal 1
ayat (1), karena ada kemungkinan undang-undang yang baru yang
diterapkan, artinya berlaku surut, jika menguntungkan terdakwa. Jika
suatu ketentuan sudah diatur secara umum (asas umum) tidak perlu lagi
diatur secara khusus. Hal ini terbukti dengan perubahan KUHP Belanda
pada tahun 1976, yang menentukan (secara umum) bahwa badan hukum adalah
subjek hukum pidana,. Ini berarti berlaku untuk semua
perundang-undangan pidana di luar KUHP. Sebelum itu, pada tahun 1950,
secara khusus (lex spesialis) Pasal
15 WED (Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi) Belanda mengatakan bahwa
Badan Hukum adalah subjek hukum pidana, jadi menyimpang dari Pasal 51
NWvS (KUHP Belanda). Pada waktu itu yang mengatakan hanya orang yang
sebagai subjek hukum pidana.
Pembuat Undang-undang yang mengubah Pasal 51 NWvS (KUHP Belanda) tidak
lupa mencabut Pasal 15 WED, karena sudah diatur secara umum dalamKUHP
yang mencakup pula WED. Dari hasil membaca undang-undang yang mengubah
Pasal 51 NWvS (KUHP Belanda) pada tahun 1976 itulah, penulis yakin
bahwa tidaklah cacat Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang tidak menentukan
Undang-undang mana yang belaku, yang baru atau yang lama. Bahwa
perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah disetujui DPR
(sekarang Undang-undang Nomor 20 tahun 2001) berisi aturan peralihan
yang tidak lainmerupakan penjelasan Pasal 1 ayat 2 KUHP, yang hanya
berfungsi bagi orang yang kurang memahami asas-asas hukum pidana. Aturan
peralihan dalam Undang-undang Tahun 1997 Malaysia juga tidak
menyebutkan tentang Undang-undang lama dan baru. Aturan peralihannya
hanya menyangkut pejabat BPR
bahwa pejabat yang diangkat berdasarkan Undang-undang lama
tetapmenjabat seakan-akan diangkat berdasarkan Undang-undang yang baru.
Begitu pula halnya dngan Thailand.
Sejarah
pengusulan untuk meniru ketentuan tentang pembalikan beban pembuktian
yang berlaku di Malaysia berulang kembali, meskipun jalan ceritanya
lain Mr. Lukman Wiryadinata menjelang disusunya Randangan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
ditolak oleh Prof. W. Oemar Seno Adji sebagai Menteri Kehakiman pada
waktu itu. Sepulang
penulis dari Malaysia dalam rangka mengadakan study tentang
pemberantasan korupsi di sana. Penulis melaporkan kepada Jaksa Agung
Hari Suharto, agar dapat ditiru sistem pembalikan beban pembuktian di
Malaysia. Tidak ada tanggapan dari beliau, jukstru Kepala Kejaksaan
Tinggi Sulawesi Selatan pada waktu tersebut, Baharuddin Lopa sangat
setuju dengan gagasan tersebut. Pada waktu beliau menjabat mentri
Kehakiman tiga bulan, beliau cepat menyusun tim untuk merumuskan
pembalikan beban pembuktian bagi delik korupsi. Penulis sebagai salah
satu anggota tim, yang baru saja mengunjungi BPR (Badan Pencegahan Rasuh) di Kuala Lumpu untuk ketiga kalinya (Tahun 1986, 2000, dan 2001) mengajukan rumus yang bercermin pada Pasal 42 ACA (Anti Corruption Act) Malaysia, bahwa semua pemberian (gratification) kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap suap, kecuali dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa.
Maksud ketentuan itu adalah penuntut umum hanya membuktikan satu bagian inti sari daridelik, yaitu adanya pemberian (gratification), selebihnya
dianggap ada dengan sendirinya, kecuali dibuktikan sebaliknya oleh
terdakwa, yaitu pertama pemberian itu berkaitan dengan jabatannya
(bahasa aslinya dalam KUHP in zign bediening), yang kedua adalah berlawanan dengan kewajibannya, (bahasa aslinya dalam KUHP in strijd met zijn plicht). Ini sama dengan Pasal 42 terutama ayat (2) ACA Malaysia, yang mengatakan unsure selebihnya dalam Pasal 161, 162, 163, atau Penal Code (KUHP Malaysia) … it
is proved that such person has accepted or obtained or accepted to
obtain any gratification, such person shall be presumed to have done so
as a motive or reward for the matters set out in the particulars of the
offense, unless the contrary is proved. Dari kata-kata …as a motive or reward for the matters set out in the particulars of the offense … merupakan bagian inti (bestanddelen). Atau unsur yang harus dibuktikan sebaliknya oleh si penerima. Artinya, si penerima harus dapat membuktikan, bahwa pemberian (gratification) itu
bukan motif atau imbalan mengenai hal-hal disebut dalam rumusan delik
itu. Di Indonesia bagian inti dari delik Pasal KUHP adalah
- Pemberian (gif) atau janji (belofte)
- Berkaitan dengan kewajiban (in zijn bediening
- Berlawanan dengan kewajibannya (in strijd met zijn plicht).
Dari
Rancangan Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 (sekarang
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001) yang disusun oleh tim termasuk
penulis terutama bunyi ketentuan pembalikan beban pembuktian dalam Pasal
12A Rancangan, yang harus dibuktikan oleh penuntut umum hanyalah ada
atau tidaknya pemberian (gratification). Rumusan
dalam rancangan khususnya Pasal 12A sudah merupakan suatu sistem,
tidak dapat diambil separuh atau dibuang separuh. Jika tidak disetujui,
harus dibuang keseluruhannya. Jadi, jika rumusan diubah seperti telah disahkan oleh DPR, bahwa setiap gratification kepada
pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang berkaitan atau
berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajibannya,
dianggap …, dan seterusnya, berarti yang tersisa untuk membuktikan
sebaliknya oleh tersangka atau terdakwa menjadi nihil. Dengan demikian, tidak ada pembalikan beban pembuktian dalam delik suap dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.
Lebih rancu lagi, jika ayat-ayat yang lain dari Rancangan tetap dicantumkan, seperti kewajiban melaporkan gratification dalam
jumlah tertentu itu. Bagaimana mungkin tersangka atau terdakwa
melaporkan diri bahwa ia telah melakukan delik suap dan telah melalaikan
kewajibannya, hal itu tentunya sama dengan membawa kepala sendiri ke
mulut harimau. Bagaimana pula Komisi Pemberantasan Korupsi dapat
memutuskan gratification itu
boleh dimiliki artinya pantas, padahal orang itu telah melakukan
seluruh bagian inti dari delik. Artinya, dia telah menerima suap sesuai
dengan rumusan delik.
Pasal
1 angka 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi menentukan bahwa di antara Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 disisipkan pasal baru, yaitu Pasal 12A terdiri atas
2 ayat, Pasal 12B terdiri atas 2 ayat dan Pasal 12C terdiri atas 4
ayat.
- Penyisipan
Pasal 12A dimaksudkan untuk menghilangkan rasa kekurangadilan bagi
pelaku tindak pidana korupsi dalam hal nilai yang dikorup relative
kecil. Pasal 12B berisi ketentuan tentang pembuktian terbalik, yaitu
gratifikasi yang besarnya lebih dari (Rp. 10.000.000.00 (sepuluh juta
rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan
merupakan suap yang dilakukan oleh penerima gratifikasi. Adapun yang
nilainya kurang dari Rp.10.000.000.00. (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut adalah suap dilakukan oleh
penuntut umum. Adapun Pasal 12C menyebutkan tentang pemberantasan
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana (KPK). Saat ini, komisi tersebut
telah terbentuk yang diatur dalam undang-undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mulai berlaku
sejak tanggal Desember 2002.
KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
BalasHapusBERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.
Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....