Bahwa
pada dasarnya seluruh kegiatan dalam proses hukum penyelesaian perkara
pidana sejak penyelidikan sampai putusan akhir diucapkan dimuka
persidangan oleh majelis hakim adalah berupa kegiatan yang berhubungan
dengan pembuktian atau kegiatan untuk membuktikan. Walaupun hukum
pembuktian operkara pidana terfokus pada proses sesungguhnya proses
membuktikan sudah ada dan dimulai pada saat penyidikan. Bahkan, pada
saat proses perkara pidana oleh negara. Perhatikanlah
batasan tentang penyelidikan, ialah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak
pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan menyedikan menurut
cara yang diatur dalam Undang-undang ini (Pasal 1 angka 5 KUHAP).
Perhatikan pula batasan tentang penyidikan dalam hal dan menurut cara
serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1
angka 2).
Tampak
jelas dalam batasan tentang penyelidikan bahwa untuk menemukan suatu
peristiwa yang diduga mengandung muatan tindak pidana, dalam rangka
untuk menentukan langkah berikutnya ialah dapat ataukah tidak dapat
dilakukan pekerjaan lanjutan – penyidikan, tentulah juga diperlukan
bukti-bukti dalam derajat tertentu. Untuk menemukan suatu peristiwa
sudah barang tentu diperlukan tanda-tanda adanya peristiwa tersebut, dan
tanda-tanda itu disebut sebagai bukti. Tersebut, dan tanda-tanda itu
disebut sebagai bukti. Oleh karena itu, pada kegiatan penyelidikan pun
sesungguhnya dapat dikategorikan kedalam pekerjaan pembuktian. Demikian
juga pada penyidikan, untuk membuat terang suatu tindak pidana yang
terjadi dan untuk menemukan tersangkanya oleh penyidik, diperlukan pula
bukti-bukti.
Mencari
bukti yang dimaksud sesungguhnya mencari alat bukti tersebut hanya
terdapat atau dapat diperoleh dari alat bukti dan termasuk barang bukti.
Bukti yang terdapat pada alat bukti itu kemudian dinilai oleh pejabat
penyelidik atau menarik kesimpulan, apakah bukti yang ada itu
menggambarkan suatu peristiwa yang diduga tindak pidana ataukah tidak.
Bagi penyidik bukti yang terdapat dari alat bukti itu dinilai untuk
menarik kesimpulan apakah dari bukti yang ada itu sudah cukup untuk
membuat terang tindak pidana yang terjadi dan sudah cukup dapat
digunakan untuk menemukan tersangkanya.
Jika
pekerjaan itu pada tahap penyidikan, maka dari bukti-bukti yang
diperoleh penyidik itu digunakan untuk membuat terang tindak pidana yang
semula diduga terjadi, dan sudah cukup pula untuk digunakan menemukan
tersangkanya. Pekerjaan mencari bukti-bukti dan menilainya serta menarik
kesimpulan oleh penyelidik atau penyidik inipun dapat disebut pekerjaan
pembuktian, walaupun in casu
tidak sama arti dan isinya dengan istilah pembuktian yang berlaku dan
dijalankan didalam sidang pengadilan pidana, yang selama ini oleh para
praktisi disebut sebagai pembuktian.
Memang,
ada perbedaan antara pembuktian dalam proses sebelum penuntutan dan
dalam proses penuntuan/ pemeriksaan disidang pengadilan. Pembuktian
dalam proses sebelum penentutan in casu penyidikan terfokus pada kegiatan mengumpulkan bukti in casu
dari alat-alat bukti, yang pada dasarnya adalah kegiatan mencari /
mengumpulkan bukti, dan kemudian mengurai, menganalisis, menilai dan
menyimpulkan dalam suatu surat yang disebut dengan Resume. Kelak
semuanya (alat-alat bukti beserta penilaian penyidik ini) akan diusung
jaksa PU kedalam sidang,dan diperiksa ulang dihadapan 3 tiga pihak
hakim, jaksa penuntut umum (JPU) dan terdakwa /penasihat hukumnya.
Bukti yang sah, dalam arti bukti yang dapat dinilai dan dipertimbangkan
hakim dalam rangka membentuk keyakinannya untuk tujuan satu-satunya
membuat putusan perkara pidana, adalah bukti yang dapat dari alat bukti
yang diajukan dan diperiksa dalam persidangan, dan bukan bukti yang
dapat dari hasil penyidikan. Bukti yang dari hasil penyidikan hanyalah
dapat digunakan oleh JPU sebagai dasar menyusun surat dakwaan. Di dalam
sidang pengadilan, bukti atau alat bukti yang didapat dari pekerjaan
penyidikan hanyalah berfungsi membantu menemukan bukti, dan memberi
arahan bagi hakim, jaksa penuntut umum maupun penasihat hukum dalam
mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan berdialog terhadap saksi-saksi dan
terdakwa atau berdialog antara hakim dengan jaksa penuntut umum maupun
dengan penasihat hukum atau satu sama lainnya.
Kegiatan
pembuktian dalam sidang pengadilan, tidak berfokus lagi pada pencarian
alat-alat bukti (yang memuat bukti-bukti) dan mengurai bukti-bukti, akan
tetapi memeriksa alat-alat bukti yang sudah terlebih dahulu disiapkan
oleh penyidik, dan diajukan JPU dalam sidang untuk diperiksa bersama
tiga pihak tadi. Pada dasarnya kegiatan dalam sidang pengadilan perkara
pidana adalah kegiatan pengungkapan fakta-fakta suatu peristiwa melalui
berbagai alat bukti dan kadang ditambah barang bukti. Kegiatan ini
sering disebut dengan pemeriksaan alat-alat bukti. Fakta-fakta yang
diperoleh itu akan dirangkai menjadi satu peristiwa, peristiwa mana
seperti apa yang sebenarnya (kebenaran materiel), mendekati yang
sebenarnya ataukah jauh dari kebenaran yang sesungguhnya; begitu juga
apakah peristiwa tersebut mengandung muatan tindak pidana sebagaimana
yang didakwakan JPU atau tidak, akan bergantung sepenuhnya kepada akurat
atau tidaknya dan lengkap atau tidaknya fakta-fakta yang diperoleh dari
alat-alat bukti tersebut.
Selain
itu, dalam hal bagaimana cara menilai tentang apa yang ditemukan
sebagai bukti pada kegiatan penyelidikan maupun penyidikan. Demikian
pula dalam hal standar apa yang digunakan dalam hal menarik kesimpulan
dari proses penilaian bukti-bukti tersebut, tidaklah diatur secara
khusus dalam KUHAP, melainkan bergantung kepada penilaian penyelidik dan
atau penyidik sendiri. Tentulah subjektivitas pejabat penyelidik maupun
penyidik mengedepankan dalam proses penilaian terhadap bukti yang
didapatnya. Lihatlah istilah bukti yang cukup sebagai kesimpulan
penyidik untuk menetapkan status seorang menjadi tersangka atas
perbuatan yang dilakukannya dalam Pasal 1 angka 14. Bagaimana cara
penilaiannya atas bukti yang didapatnya dan bagaimana cara mengambil
kesimpulan tersebut, tidaklah diatur sedikitpun dalam KUHAP. Walaupun
demikian, berdasarkan apa yang telah diterangkan diatas, maka dalam
tahap penyidikan pun sesungguhnya telah terjadi kegiatan pembuktian
sebagaimana terbukti dalam hal penyidik menetapkan status tersangka pada
seseorang karena perbuatan yang dilakukannya. Standar bukti yang ada
dalam Pasal 183 KUHAP dapat pula menjadi pegangan penyidik atau
penyelidik dalam bekerja mencari alat-alat bukti dan menilainya.
Dengan
dasar pertimbangan seperti itulah, maka dalam praktik kegiatan
pembuktian diartikan hanyalah kegiatan pembuktian dalam persidangan, dan
tidak termasuk kegiatan penyelidikan dalam mencari bukti dalam
penyelidikan maupun mengumpulkan alat bukti dan atau barang bukti yang
menjadi tugas pokok penyidik dalam pekerjaan penyidikan.
Dalam
sidang dengan acara pemeriksaan biasa peradilan pidana, selalu terdapat
3 (tiga) pihak: majelis hakim berikut panitera perkara, JPU dan
terdakwa yang (boleh) didampingi penasihat hukum. Menurut sistem hukum
acara (khususnya hal pemeriksaan) akusator (accusatior)
sebagaimana yang kita anut, terdakwa adalah pihak (subyek) dan bukan
objek yang diperiksa. Karena itu, dalam sidang pengadilan, kedudukan
terdakwa adalah sama/ setara dengan pihak negara yang diwakili JPU. Tiga
pihak ini menjalankan persidangan bersama yang dikendalikan oleh
majelis hakim, khususnya hakim ketua. Karena pihak JPU dan PH berbeda
fungsi dan tugasnya, maka tidak aneh dan dapat diterima oleh siapapun
dan apabila dalam pengungkapan fakta-fakta – masing-masing pihak akan
berusaha ikut terlibat aktif dalam mengarahkan jalannya sidang melalui
pertanyaan-pertanyaan pada saksi-saksi, ahli terutama antara JPU dengan
penasihat hukum atau JPU dengan majelis hakim atau penasihat hukum
dengan majelis hakim.
JPU
akan berusaha mengarahkan jalannya sidang untuk mendapatkan fakta-fakta
yang akan menguntungkan dan memperkuat posisinya sebagai pejabat
pendakwa dan penuntut (requisitoir)
untuk dapat mempengaruhi pendapat atau keyakinan hakim tentang telah
terbukti tindak pidana dakwaan dan terdakwa bersalah melakukakannya.
Sebaliknya,
PH akan berusaha mengarahkan jalannya sidang untuk mendapatkan
fakta-fakta yang menguntungkan posisi terdakwa. Fakta-fakta yang
menguntungkan terdakwa ini pada akhirnya akan dianalisis konstruksi
peristiwanya berikut konstruksi hukumnya dalam pembelaannya. Dalam
analisis konstruksi peristiwanya diarahkan oleh PH kearah tidak terbukti
adanya muatan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan, dan diarahkan
untuk mempengaruhi majelis hakim agar tidak terbentuk keyakinanya telah
terjadi tindak pidana dan terdakwa bersalah melakukannya.
Setidak-tidaknya dalam persidangan PH akan mencari untuk menemukan
fakta-fakta, yang fakta-fakta itu akan dianalisis olehnya untuk
mengungkap bahwa apa yang telah diperbuat terdakwa dalam peristiwa yang
terjadi terdapat alasan peniadaan pidana baik yang terdapat dalam
undang-undang maupun yang diluar undang-undang, seperti tiadanya
kesalahan atau hapusnya sifat melawan hukum perbuatan (secara materiel).
Atau paling apes penasihat hukum dapat menemukan dan mengemukakan
hal-hal yang meringankan beban pertanggungjawaban pidana terdakwa.
Sedangkan
Majelis hakim sebagai pihak yang memimpin, akan mengendalikan jalannya
persidangan untuk mendapatkan fakta-fakta sebenar-benarnya baik yang
meringankan, yang memberatkan atau tidak memberatkan kedua belah pihak.
Fakta-fakta tersebut nantinya akan dibahas dan dianalisis sehingga
menggambarkan peristiwa apa yang sesungguhnya terjadi untuk dapat
dipastikan menurut akal apakah benar ataukah tidak benar terjadinya
tindak pidana sebagaimana yang didakwakan jaksa penuntut umum.
Seluruh
rangkaian kegiatan dalam sidang pengadilan yang dijalankan bersama oleh
tiga pihak dengan kendali pada majelis hakim itulah yang dalam praktik
dan dengan demikian juga dalam banyak literatur hukum disebut dengan
kegiatan pembuktian. Sedangkan kegiatan mencari dan menggumpulkan bukti
dan menilainya dan kemudian menarik kesimpulan pada tingkat penyelidikan
maupun penyidikan tidaklah dianggap sebagai kegiatan pembuktian.
Anggapan yang demikian cukup beralasan, mengingat dalam KUHAP perihal
pembuktian dalam persidangan pengadilan saja yang diatur secara lengkap,
artinya jelas dasar hukumnya (Bagian keempat Bab XVI). Sedangkan
pembuktian dalam tahap penyelidikan dan penyidikan tidaklah diatur
secara khusus.
Karena kegiatan pembuktian ini adalah suatu proses in casu
proses pembuktian, maka setiap proses mestilah ada permulaan dan ada
pula akhirnya. Proses pembuktian disidang pengadilan, dimulai sejak
diperiksannya saksi korban (pertama), Artinya, setelah surat dakwaan
dibacakan JPU atau jika terhadap surat dakwaan diajukan eksepsi oleh PH,
setelah dibacakannya putusan sela oleh majelis hakim. Menurut Pasal 160
ayat (1) huruf b saksi pertama yang diperiksa adalah saksi korban.
Sejak itu mulailah kegiatan pembuktian.
Mengenai
hal dimulainya proses pembuktian dalam sidang pengadilan adalah sama
bagi JPU, PH dan PH dan majelis hakim, tetapi tidak sama mengenai hal
berakhirnya. Pembuktian akan berakhir pada titik kesimpulkan tentang
terbukti atau tidaknya tindak pidana sebagaimana yang di dakwakan JPU
dalam surat dakwaan.
Bagi JPU kesimpulan tersebut tersebut dimuat dalam surat tuntutannya (requisitoir), yang dapat dipertegas
atau disempurnakannya dalam repliknya. Jika tidak diajukan replik,
maka sejak requisitoir dibacakan dimuka sidang, maka berakhirlah
pembuktian bagi JPU. Jika diajukan replik, maka berakhirlah proses
pembuktian JPU setelah replik dibacakan.
Bagi PH kesimpulan itu dimuat dalam nota pembelaannya (pleidoi), yang
dapat dipertajam atau disempurnakan melalui pengajuan duplik. Jika
tidak diajukan duplik, maka pembuktian PH berakhir setelah pembelaan
dibacakan. Bila diajukan duplik, maka proses pembuktian PH berakhir
setelah duplik dibacakan.
Bagi majelis hakim kesimpulan tersebut akan dimuat dalam putusan akhir (vonis)
yang disusun dan kemudian dibacakan / diucapkan dalam sidang yang
terbuka untuk umum. Setelah vonis dibacakan, berakhirlah proses
pembuktian bagi majelis hakim pada tingkat pertama. Penyusunan vonis
adalah proses akhir pembuktian. Proses pembuktian bagi hakim dapat
berlanjut ,. Dalam hal perkara tersebut diperiksa ulang dalam tingkat
banding. Namun tidak ada lagi proses pembuktian dalam tingkat kasasi,
karena pada tingkat kasasi hanya memeriksa dan memutus tentang
hukumnya. Dari
pemahaman tentang arti pembuktian di sidang pengadilan sebagaimana yang
diterangkan diatas, maka sesungguhnya kegiatan pembuktian dapat
dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu:
Bagian kegiatan pengungkapan fakta; dan
Bagian pekerjaan penganalisisan fakta yang sekaligus penganalisisan hukum.
Bagian
pembuktian yang pertama, adalah kegiatan pemeriksaan alat-alat bukti
yang diajukan dimuka sidang pengadilan oleh JPU dan PH (a decharge)
atau atas kebijakan majelis hakim. Proses pembuktian bagian pertama ini
akan berakhir pada saat ketua majelis menyatakan (diucapkan seacara
lisan) dalam sidang bahwa pemeriksaan perkara selesai (Pasal 182 ayat 1
huruf a). Dimaksudkan selesai menurut pasal ini tiada lain adalah
selesai pemeriksaan untuk mengungkap atau mendapatkan fakta-fakta dari
alat-alat bukti dan barang bukti yang diajukan dalam sidang (termasuk
pemeriksaan setempat).
Bagian
pembuktian kedua, ialah bagian pembuktian yang berupa penganalisisan
fakta-fakta yang didapat dalam persidangan dalam persidangan dan
penganalisisan hukum masing-masing oleh tiga pihak tadi. Oleh JPU
pembuktian dalam arti kedua ini dilakukannya dalam surat tuntutannya (requisitor) . Bagi PH pembuktiannya dilakukan dalam nota pembelaan (pleidooi), dan majelis hakim akan dibahasnya dalam putusan akhir (vonis) yang dibuatnya. Banyak
kalangan praktisi mengartikan pembuktian adalah pembuktian pada bagian
pembuktian yang kedua saja. Pembuktian kedua ini dapat juga disebut
dengan pembuktian dalam arti luas adalah seluruh kegiatan pembuktian
dalam arti yang pertama yang sekaligus / termasuk pengertian pembuktian
yang kedua.
Keseluruhan
ketentuan hukum yang mengatur segala segi tentang pembuktian itulah
yang disebut dengan hukum pembuktian. Sebagaimana kita ketahui bahwa
proses kegiatan pembuktian yang dilaksanakan bersama oleh tiga pihak
tadi, segala seginya telah ditentukan oleh UU (KUHAP) sebagai hukum umum
dan bisa jadi ditambah dengan aturan khusus di luar kodifikasi, seperti pembuktian tindak pidana korupsi segi-segi pembuktian yang diatur hukumnya tersebut, antara lain:
Mengenai
hal sumber apa yang dapat digunakan untuk memperoleh bukti
(faktafakta)tentang objek-objek apa yang dibuktikan.mengenai hal
sumber ini adalah apa yang disebut dengan alat-alat bukti (jenisnya
dalam Pasal 184) dan juga barang bukti (jenisnya Pasal 39). Walaupun
barang bukti adalah juga sumber bukti, tetapi kekuatan pembuktian
barang bukti berbeda dengan alat bukti. Barang bukti sekedar dapat
digunakan sebagi salah satu bahan membentuk alat bukti petunjuk), dan
dapat digunakan untuk memperkuat pembentukan keyakinan hakim.
Pengetahuan hakim tentang segala hal yang diketahui secara umum dapat
dianggap sumber bukti , tetapi bukan alat bukti melainkan dapat
dianggap sesuatu bukti atau fakta yang tidak memerlukan alat bukti
(Pasal 184 ayat 2);Mengenai kedudukan,fungsi pihak JPU,PH dan hakim yang terlibat dalam kegiatan pembuktian.Megenai nilai kekuatan alat-alat bukti dalam pembuktian dan cara-cara menilainya;Mengenai
cara bagaimana membuktikan dengan alat-alat tersebut. Dengan kata lain
bagaimana alat-lat bukti tersebut digunakan dalam kegiatan pembuktian;Mengenai
standar minimal pembuktian sebagai kriteria yang harus dipenuhi untuk
menarik kesimpulan, pembuktian tentang terbukti ataukah tidak hal
mengenai objek apa yang di buktikan.
Masyarakat
subyektif (keyakinan) hakim dalam hubungannya dengan standar minimal
pembuktian dalam hal hakim menarik amar putusan akhir jadi, hukum
pembuktian adalah memuat dan mengatur tentang berbagai unsur pembuktian
yang tersusun dan teratur saling berkaitan dan berhubungann sehingga
membentuk suatu kebulatan perihal pembuktian jika dilihat dari segi
keteraturan dan keterkaitannya dalam suatu kebulatan itu dapat juga
disebut dengan sistem pembuktian.
KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
BalasHapusBERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.
Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....