Apabila
dilihat dari hukum pembuktian yang kita anut sekarang, sistem
pembuktian dapat diberi batasan sebagai suatu kebulatan atau
keseluruhan dari berbagai ketentuan perihal kegiatan pembuktian yang
saling kait mengait dan berhubungan satu dangan yang lain yang tidak
terpisahkan dan menjadi suatu kesatuan yang utuh. Adapun isinya sistem
pembuktian terutama tentang alat-alat bukti apa yang boleh digunakan
untuk membuktikan, cara bagaimana alat bukti itu boleh dipergunakan,
dan nilai kekuatan dari alat-alat bukti tersebut serta standar/kriteria
yang menjadi ukuran dalam mengambil kesimpulan tentang terbuktinya
sesuatu (objek) yang dibuktikan. Sebagaimana
yang dipahami selama ini, bahwa sistem pembuktian adalah merupakan
ketentuan tentang bagaimana cara dalam membuktikan dan sandaran dalam
menarik kesimpulan tentang terbuktinya apa yang dibuktikan. Pengertian
sistem pembuktian yang mengandung isi yang demikian, dapat pula disebut
dangan teori atau ajaran pembuktian. Ada beberapa sistem pembuktian
yang telah dikenal dalam doktrin hukum acara pidana, ialah:
- Sistem keyakinan belaka.
- Sistem keyakinan dengan alasan logis.
- Sistem menurut berdasarkan undang-undang.
- Sistem menurut UU secara terbatas.
Adapun penjelasan dari point diatas :
Sistem Keyakinan Belaka (Conviction in Time)
Menurut
sistem ini, hakim dapat menyatakan telah terbukti kesalahan terdakwa
melakukan tindak pidana yang didakwakan dengan didasarkan pada
keyakinannya saja dan tidak perlu mempertimbangkan dari mana (alat
bukti) dia memperoleh dan alasan-alasan yang Pdipergunakan
serta bagaimana caranya dalam membentuk keyakinannya tersebut. Juga
tidak perlu mempertimbangkan apakah keyakinan yang dibentuknya itu logis
ataukah tidak logis. Bekerjanya sistem ini benar-benar bergantung pada
hati nurani hakim.
Sistem ini
mengandung kelemahan yang besar. Sebagaimana manusia biasa, hakim bisa
salah keyakinan yang telah dibentuknya, berhubung tidak ada kriteria,
alat-alat bukti tertentu yang harus dipergunakan dan syarat serta
cara-cara hakim dalam membentuk keyakinannya itu. Disamping itu pada
sistem ini terbuka peluang yang besar untuk terjadi praktik penegakan
hukum yang sewenang-wenang, dengan bertumpu pada alasan hakim telah
yakin. Walaupun mengandung kelemahan yang besar, sistem ini pernah
berlaku di Indonesia pada zaman Hindia Belanda dahulu, ialah pada
Pengadilan District dan Pengadilan Kabupaten ). Pengadilan District
adalah pengadilan sipil dan kriminal tingkat pertama untuk orang-orang
bangsa Indonesia. Berada pada tiap-tiap distrik di jawa dan Madura
berdasarkan Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid de Justitie in Nederlandsch Indie (Pasal 77-80 RO). Pengadilan Kabupaten yang disebut juga dengan Regentschapsgerecht (Pasal 81-85 RO) adalah pengadilan tingkat bandingnya).
Sistem Keyakinan dengan Alasan Logis (Lacon viction in Raisonne).
Sistem
ini lebih maju sedikit dari pada sistem yang pertama, walaupun kedua
sistem dalam hal menarik hasil pembuktian tetap didasarkan pada
keyakinan. Lebih maju, karena dalam sistem yang kedua ini dalam hal
membentuk dan menggunakan keyakinann hakim untuk menarik kesimpulan
tentang terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana,
didasarkan pada alasan-alasan itu dengan menggunakan alat-alat bukti
baik yang ada disebutkan dalam UU maupun diluar UU.
Dalam
sistem ini, walaupun UU menyebut dan menyediakan alat-alat bukti,
tetapi dalam hal menggunakannya dan menaruh kekuatan alat-alat bukti
tersebut terserah pada pertimbangan hakim dalam membentuk keyakinannya
tersebut, asalkan alasan-alasan yang dipergunakan dalam pertimbangan
logis. Artinya, alasan yang digunakannya dalam hal membentuk keyakinan
hakim masuk akal, artinya dapat diterima oleh akal orang pada umumnya.
Sistem ini kadang disebut dengan sistem pembuktian keyakinan bebas (vrije bewijstheorie), karena
dalam membentuk keyakinannya hakim bebas menggunakan alat-alat bukti
dan menyebutkan alasan-alasan dari keyakinan yang diperolehnya dari
alat-alat bukti tersebut.
Sistem Pembuktian Melalui Undang-undang (Positief Wettelijk Bewijstheorie).
Ada
kalanya sistem pembuktian ini disebut dengan sistem menurut
undang-undang secara positif. Maksudnya, ialah dalam hal membuktikan
kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana didasarkan semata-mata pada
alat-alat bukti serta cara-cara mempergunakannya, maka hakim harus
menarik kesimpulan bahwa kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana
telah terbukti. Keyakinan hakim sama sekali tidak penting dan bukan
menjadi bahan yang boleh dipertimbangkan dalam hal menarik kesimpulan
tentang kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana. Jadi, sistem ini
adalah sistem yang berlawanan dengan sistem pembuktian berdasarkan
keyakinan semata-mata. Sistem pembuktian ini hanya sesuai dengan hukum acara pidana khususnya dalam hal pemeriksaan yang bersifat inkuisitor (inquisitior) seperti yang pernah dianut dahulu dibenua Eropa).
Sistem Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Terbatas (Negatif Wettelijk Bewijstheorie).
Menurut
sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak
pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan
alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh
undang-undang . Itu tidak cukup, tetapi harus disertai pula keyakinan
bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk
ini haruslah didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat
bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Jadi untuk menarik
kesimpulan dari kegiatan pembuktian didasarkan pada 2 (dua) hal, ialah
alat-alat bukti dan keyakinan yang merupakan kesatuan tidak dipisahkan,
yang tidak berdiri sendiri-sendiri. Disebut
dengan sistem menurut UU, karena dalam membuktikan harus menurut
ketentuan UU baik alat-alat bukti yang dipergunakan maupun cara
mempergunakannya serta syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk
menyatakan tentang terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan tindak
pidana yang didakwakan. Disebut dengan terbatas, karena dalam melakukan
pembuktian untuk menarik kesimpulan tentang terbuktinya kesalahan
terdakwa melakukan tindak pidana disamping dengan menggunakan alat-alat
bukti yang sah menurut UU juga dibatasi/diperlukan pula keyakinan
hakim. Artinya, bila ketiadaan keyakinan hakim – tidak boleh menyatakan
sesuatu (objek) yang dibuktikan sebagai terbukti, walaupun alat bukti
yang dipergunakan talah memenuhi syarat minimal bukti.
Hukum pembuktian dalam hukum acara pidana kita sejak berlakunya het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dahulu dan kini KUHAP adalah menganut sistem ini secara konsekuen. Pasal 294 ayat (1) HIR merumuskan bahwa:
“Tidak
seorangpun boleh dikenakan hukuman, selain jika hakim mendapat
keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi
perbuatan yang boleh dihukum dan bahwa orang yang dituduh itulah yang
salah tentang perbuatan itu”.
Intinya, sistem pembuktian dalam Pasal 294 HIR itu diadopsi dengan penyempurnaan kedalam Pasal 183 KUHAP yang rumusanya ialah:
“Hakim
tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melaukannya”.
Rumusan
Pasal 183 KUHAP dapat dinilai lebih sempurna, karena telah menentukan
batas yang lebih tegas bagi hakim dalam usaha membuktikan kesalahan
terdakwa untuk menjatuhkan pidana. Lebih tegas karena ditentukan batas
minimun pembuktian, yakni harus menggunakan setidak-tidaknya dua alat
bukti yang sah dari yang disebutkan dalam UU. Sedangkan dalam Pasal 294
ayat (2) HIR syarat setidak-tidaknya dengan (dua) alat bukti
sebagaimana dalam Pasal 183 KUHAP tidak disebutkan secara tegas. Hal
ini menandakan bahwa sistem pembuktian negatif dalam KUHAP lebih baik
dan lebih menjamin kepastian hukum.
Walupun
Pasal 294 ayat (1) HIR tidak secara tegas menentukan minimal dua alat
bukti yang harus dipergunakan hakim, jiwa dari ketentuan tidak dapat
dipergunakannya satu alat bukti juga tercermin dari Pasal 308 HIR, bahwa
pengakuan terdakwa saja tanpa adanya fakta-fakta lain pendukungannya
dalam sidang, tidak cukup nuntuk dijadikan bukti, Fakta-fakta pendukung
yang diperoleh dalam sidang tentu saja diperoleh dari alat bukti selain
pengakuan.
Dalam
sistem menurut undang-undang secara terbatas atau disebut juga dengan
sistem undang-undang secara negatif sebagai intinya, yang dirumuskan
dalam Pasal 183, dapatlah disimpulkan pokok-pokoknya, ialah:
- Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika memenuhi syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana;
- Standar / syarat tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana.
Penjelasan dari point di atas :
Tujuan Akhir Pembuktian Untuk Memutus Perkara Pidana, Yang Jika Memenuhi Syarat Pembuktian Dapat Menjatuhkan Pidana.
Sesungguhnya, pembuktian itu ditujukan untuk memutus suatu perkara suatu perkara in casu perkara
pidana, dan bukan semata-mata menjatuhkan pidana. Sebab, untuk
menjatuhkan pidana masih diperlukan lagi syarat terbuktinya kesalahan
terdakwa melakukan tindak pidana. Jika setelah kegiatan pembuktian
dijalankan, dan berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah majelis
hakim mendapatkan keyakinan: (1) terbukti terjadinya tindak pidana; (2)
terdakwa melakukannya; dan (3) keyakinan terdakwa bersalah (tanpa
terbukti adanya peniadaan pidana selama persidanga), maka terdakwa
dijatuhi pidana (veroordeling), sebaliknya, jika menurut keyakinan hakim tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti, maka akan dijatuhi pembebasan (vrijspraak).
Apabila tindak pidana yang didakwakan terbukti dilakukan terdakwa,
tetapi dalam persidangan terbukti adanya dasar alasan yang meniadakan
pidana baik didalam UU maupun diluar UU, maka tidak di bebaskan dan juga
tidak dipidana melainkan dijatuhkan amar putusan pelepasan dari
tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging).
Pada dasarnya, kegiatan pembuktian dilakukan untuk menjatuhkan putusan in casu menarik
amar putusan oleh majelis hakim. Pembuktian dilakukan terlebih dahulu
dalam usaha mencapai derajat setinggi-tingginya dalam putusan hakim.
Jadi, bukan ditujukan untuk menjatuhkan pidana saja. Norma Pasal 183 ini
adalah menentukan syarat yang harus dipenuhi dalam hal pembuktian
untuk menjatuhkan pidana tersebut
Standar / Syarat Tentang Hasil Pembuktian Untuk Menjatuhkan Pidana.
Sesungguhnya
ada 2 (dua) syarat untuk mencapai suatu hasil pembuktian agar dapat
menjatuhkan pidana yang saling berhubungan dan tidak terpisahkan, tetapi
dibedakan, ialah:
- Harus
menggunakan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah. Maksud
alat bukti yang sah adalah alat bukti yang disebut dalam Pasal 184
ayat (1) KUHAP.
- Dengan menggunakan sekurang-kurangnya dua alat bukti hakim memperoleh keyakinan. Ada
tiga macam / tingkat keyakinan yang harus didapatkan hakim dari
pembuktian dengan menggunakan minimal dua alat bukti sah tersebut.
Hakim yakni tindak pidana benar telah terwujud, yakni terdakwa
melakukannya, dan dalam hal itu hakim yakni terdakwa bersalah.
Mengenai syarat
yang pertama, hal sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, bukanlah
berarti jenisnya yang harus dua, seperti 1 orang saksi ( keterangan
saksi ) dan lainya keterangan terdakwa atau surat, tetapi yang dimaksud
sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah, adalah bisa saja terdiri dari
2 alat bukti yang sama jenisnya, misalnya saksi A dan saksi B yang
menerangkan hal yang sama. Mengenai
syarat kedua: keyakinan hakim. Keyakinan hakim haruslah dibentuk atas
dasar fakta-fakta hukum yang diperoleh dari minimal dua alat bukti yang
sah. Sebagaimana diatas telah diterangkan, bahwa ada tiga keyakinan
hakim yang harus dibentuk atas dasar mempergunakan minimal dua alat
bukti yang sah tadi. Pertama, keyakinan bahwa
telah terjadi tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh JPU.
Kedua, keyakinan bahwa terdakwa benar melakukannya . Ketiga, hakim yakni
bahwa benar terdakwa dalam melakukan tindak pidana itu dapat
dipersalahkan kepadanya.
Tiga
syarat keyakinan hakim yang dibentuk itu sifatnya bertingkat tidak
dapat dipisahkan suatu kebulatan, tetapi dapat dibedakan. Keyakinan
pertama adalah keyakinan tentang terjadinya
tindak pidana, artinya keyakinan terhadap sesuatu kejadian yang
objektif. Fakta-fakta yang didapat dari dua alat bukti itu (suatu yang
objektif) yang menbentuk keyakinan hakim bahwa tindak pidana yang
didakwakan benar-benar telah terjadi. Dalam praktik disebut bahwa
tindak pidana yang didakwakan JPU telah terbukti secara sah dan
meyakinkan. Secara sah maksudnya telah menggunakan alat-alat bukti yang
memenuhi syarat minimal yakni dari dua atau lebih alat bukti yang sah.
Keyakinan tentang telah terbukti tindak pidana sebagaimana yang
didakwakan JPU tidaklah cukup untuk menjatuhkan pidana pada terdakwa,
tetapi diperlukan pula dua keyakinan berikutnya.
Keyakinan yang kedua tentang
terdakwa yang melakukannya, adalah juga keyakinan terhadap sesuatu
yang objektif. Dua keyakinan itu dapat disebut sebagai hal yang
objektif yang disubyektif yang didapatkan hakim atas sesuatu yang
objektif. Namun, mengenai keyakinan hakim yang ketiga, bisa jadi
berlainan dengan keyakinan yang pertama dan kedua. Pada
keyakinan hakim yang ketiga, yakni keyakinan tentang terdakwa bersalah
dalam hal melakukan tindak pidana; bisa terjadi terhadap dua
hal/unsur, ialah pertama hal yang bersifat objektif dan kedua hal/unsur
yang bersifat subjektif. Keyakinan tentang hal yang objektif adalah
keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa yang dibentuk atas dasar
hal-hal yang bersifat objektif. Hal-hal yang bersifat objektif ini
adalah tiadanya alasan pembenar dalam melakukan tindak pidana. Dengan
tidak adanya alasan pembenar pada diri terdakwa. Maksudnya, ialah
ketiga melakukan tindak pidana pada diri si pembuat tidak terdapat
alasan pemaaf (fait d excuse). Bisa
jadi terdakwa benar mealukakan tindak pidana dan hakim yakin pula
tentang itu, tetapi setelah mendapatkan fakta-fakta yang menyangkut
keadaan jiwa si pembuat ic terdakwa dalam persidangan, hakim tidak
terbentuk keyakinannya tentang kesalahan terdakwa melaukan tindak pidana
tersebut. Hal semacam ini bisa terjadi misalnya dalam putusan Mahkamah
Agung (No. 680/Pid/1982-7-1983) yang membebaskan terdakwa dengan
pertimbangan hukum: “bahwa dalam peristiwa itu tidak terbukti unsur
melawan hukum (penulis: sesungguhnya unsur maksud memiliki dengan
melawan hukum), sebab pada saat terdakwa mengambil barang-barang dari
kantor, dia beranggapan bahwa barang-barang yang diambil terdakwa adalah
milik suaminya. Seorang ahliwaris, terdakwa berhak mengambil
barang-barang milik tersebut).
Tiga
tingkat / macam keyakinan hakim tersebut mutlak sifatnya. Tidak
terbentuk salah satu keyakinan saja, misalnya dari dua alat bukti yang
sah hakim yakni tindak pidana benar telah terjadi, dan keyakinan kedua
benar terdakwa yang melakukannya. Akan tetapi, apabila keyakinan pada
tingkat yang ketiga tidak dipenuhi, artinya hakim tidak yakin terdakwa
bersalah dalam melakukan tindak pidana yang didakwakan, baik karena
adanya fakta-fakta hukum yang masuk pada alasan pemaaf maupun alasan
pembenar, baik yang ada dalam UU maupun diluar UU seperti tiadanya
kesalahan atau hapusnya sifat melawan hukum perbuatan secara materiel
(dalam fungsinya yang negatif), maka pidana tidak akan dijatuhkan.
Melainkan menjatuhkan pelepasan dari tuntutan hukum.
Segala
sesuatu mengenai tiga tingkat keyakinan hakim tadi adalah masuk
kedalam hukum pembuktian. Walaupun sebenarnya masih dapat dipandang
sebagai alasan untuk menjatuhkan pidana, karena dari norma rumusan
Pasal 183 ayat (1) dapat menimbulkan penafsiran yang demikian.
Khususnya dari kalimat “tidak boleh menjatuhkan pidana kecuali apabila
...”. Maka tidak salah apabila norma Pasal 183 ayat (1) dipandang
sebagai syarat-syarat untuk menjatuhkan pidana.
Keyakinan
hakim masuk ruang lingkup kegiatan pembuktian dapat diterima apabila
kegiatan pembuktian tidak dipikrkan dan dipandang semata-mata sebagai
sesuatu pekerjaan untuk membuktikan saja, tetapi untuk membuktikan dalam
usaha mencapai tujuan akhir penyelesaian perkara pidana yakni menarik
amar putusan oleh hakim. Artinya, menarik keyakinan adalah bagian dari
proses untuk mengambil kesimpulan tentang terbukti ataukah tidaknya
tindak pidana yang didakwakan JPU. Dilanjutkan menarik kesimpulan
tentang keyakinan terdakwa ataukah bukan terdakwa yang melakukannya, dan
kemudian menarik kesimpulan tentang keyakinan tentang terdakwa
bersalah ataukah tidak dalam hal itu. Toh menurut sistem pembuktian
menurut UU secara negatif (negatif yang terbatas) ini hakim tidak boleh
menyatakan sesuatu terbukti apabila tida disertai keyakinan tentang
terbukti objek apa yang dibuktikan itu in casu tingkat
keyakinan tadi. Artinya atas fakta-fakta hukum dari minimal dua alat
bukti dalam persidangan – tidak boleh menarik kesimpulan sebagai
terbukti, bila penarikan kesimpulan itu tidak melalui penilaian
subyektif hakim terlebih dulu yang namanya keyakinan tersebut.
Oleh
karena itu, mengenai hal keyakinan hakim dalam sistem pembuktian yang
kita anut sebagaimana bunyi Pasal 183 ayat (1) janganlah dipikir dan
dipandang semata-mata sebagai kegiatan membuktikan sesuatu belaka, sebab
jika dianggap bukan lagi masuk pada ruang lingkup pemidanaan,
khususnya sebagaimana sebagai syarat-syarat untuk menjatuhkan pidana.
Macam – macam Alat Bukti dan Kekuatan Alat-alat Bukti.
Menganai
jenis-jenis alat bukti yang boleh dipergunakan dan kekuatan pembuktian
serta cara bagaimana dipergunakannya alat-alat bukti tersebut untuk
membuktikan di sidang pengadilan, adalah hal paling pokok dalam hukum
pembuktian dengan sistem negatif. Ketiga hal pokok itu telah tertuang
dalam pasal-pasal dalam bagian keempat KUHAP. Mengenai macam-macam alat
bukti dimuat dalam Pasal 184. Sedangkan mengenai cara mempergunakan
alat-alat bukti dan kekuatan pembuktian alat-alat bukti dimuat dalam
Pasal 185 – 189 KUHAP.
Mengenai
macam alat bukti yang sah dan boleh dipergunakan untuk membuktikan
yang telah ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, ialah:
- Keterangan saksi;
- Keterangan ahli;
- Surat;
- Petunjuk;
- Keterangan terdakwa;
Jika
dibandingkan dengan alat-alat bukti dalam Pasal 295 HIR, maka
alat-alat bukti dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP ada perbedaan. Perbedaan
itu ialah:
- Alat
bukti pengakuan menurut HIR, yang dalam KUHAP diperluas menjadi
keterangan terdakwa. Pengertian keterangan terdakwa lebih luas dari
sekedar pengakuan.
- Dalam KUHAP ditambahkan, alat bukti baru yang dulu dalam HIR bukan merupakan alat bukti, yakni keterangan ahli.
- Alat Bukti Keterangan Saksi
- Pengertian saksi dan Keterangan Saksi.
KUHAP
telah memberikan batasan pengertian saksi, ialah orang yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan
peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 angka
26). Sedangkan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam
perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa
pidana dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya
(Pasal 1 angka 27).
Dari batasan UU tentang saksi dan keterangan saksi tersebut, dapatlah ditarik 3 kesimpulan, yakni:
- Bahwa
tujuan saksi memberikan keterangan ialah untuk kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan, Ketentuan ini juga mengandung
pengertian bahwa saksi diperlukan dan memberikan keterangannya dalam 2
tingkat yakni ditingkat penyidikan dan tingkat penuntutan disidang
pengadilan.
- Bahwa isi apa yang
diterangkan, adalah segala sesuatu yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri dan ia alami sendiri. Keterangan mengenai segala sesuatu yang
sumbernya diluar 3 sumber tadi, tidaklah mempunyai nilai atau kekuatan
pembuktian. Ketentuan ini menjadi suatu prinsip pembuktian dengan
menggunakan alat bukti keterangan saksi.
Bahwa
keterangan saksi haruslah disertai alasan dari sebab apa ia mengetahui
tentang sesuatu yang ia terangkan. Artinya, isinya keterangan baru
berharga dan bernilai pembuktian apabila setelah memberikan keterangan
tentang sebab-sebab dari pengetahuannya tersebut. Hal ini pun merupakan
prinsip umum alat bukti keterangan saksi dalam hal pembuktian.
Syarat Sah dan Berharga Keterangan Saksi
Di
dalam batasan pengertian saksi dan keterangan saksi (Pasal 1 angka 26
dan 27) yang diatas telah dibicarakan, terdapat mengenai syarat, yakni:
apa yang diterangkan adalah mengenai hal yang dilihat, didengar dan
dialami saksi sendiri. Apabila syarat itu tidak dipenuhi maka keterangan
saksi tersebut tidak bernilai pembuktian, karena bukan sebagai alat
bukti yang sah. Oleh bukti karena itu, tidak dapat dipertimbangkan
sebagai alat bukti perkara pidana. Tentu saja tidak dapat digunakan
untuk membentuk keyakinan hakim.
Alat-alat
bukti yang dapat digunakan sebagai bahan membentuk keyakinan adalah
kalau alat bukti tersebut sah. Sah artinya memenuhi syarat – syarat
sahnya menurut UU, seperti sahnya alat bukti keterangan saksi menurut
ketentuan Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP tersebut. Keyakinan yang
dibentuk dari alat-alat bukti, ialah keyakinan telah terbukti terdakwa
bersalah telah melakukannya. Disini akan diterangkan lagi secara lebih
lengkap. Disamping itu, masih ada beberapa ketentuan yang menyangkut ini
akan disebutkan. Syarat
keterangan saksi agar keterangannya itu menjadi sah dan berharga,
sehingga dapat digunakan sebagai salah satu dasar pertimbangan hakim
dalam hal membentuk keyakinannya, dapat terletak pada beberapa hal,
ialah:
- Hal kualitas pribadi saksi;
- Hal apa yang diterangkan saksi;
- Hal sebab apa saksi mengetahui tentang sesuatu yang ia terangkan;
- Syarat sumpah atau janji
- Syarat mengenai adanya hubungan antara isi keterangan saksi dengan isi keterangan saksi lain atau isi alat bukti.
Syarat
keterangan saksi yang dimaksud diatas ini adalah syarat keterangan
saksi yang diberikan dimuka sidang pengadilan, buka saat memberikan
keterangan pada tahap penyidikan. Keterangan saksi sebagai alat bukti
yang sah juga terletak pada keterangan tersebut diberikan dimuka
persidangan. Namun , bagi penyidik syarat-syarat mengenai beberapa hal
tersebut diatas terutama syarat yang relevan, Misalnya, syarat mengenai
kualitas pribadi saksi haruslah diperhatikan, agar menetapkan seorang
saksi dan pekerjaan memberkasnya dalam berkas perkara pidana tidak
menjadi sia-sia kelak disidang pengadilan.
Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Menilai Keterangan Saksi.
Disampingkan
pekerjaan menggali fakta-fakta dari alat-alat bukti yang diajukan
dalam persidangan, ada pekerjaan penting lainnya dalam kegiatan
pembuktian, yaitu menilai terhadap apa yang dapat dari pemeriksaan alat
bukti. Demikian juga apa yang diperoleh dari pemriksaan saksi, pada
saatnya akan dinilai, baik oleh JPU yang akan dibahas dalam requisitoirnya, baik oleh PH yang akan dibahas dalam pleidooinya hakim sebagai pemutus akan menilainya dalam pertimbangan hukum vonis yang dibuatnya. Ada
beberapa hal yang amat perlu diperhatikan dalam menilai kekuatan
keterangan saksi dalam persidangan. Hal-hal ini dapat dianggap sebagai
standar penilaian. Dalam menilai keterangan saksi, disamping harus
memperhatikan tentang syarat sah dan berharganya keterangan saksi
sebagaimana yang telah dibicarakan diatas, juga harus memperhatikan
standar penilaian keterangan saksi, Hal-hal yang harus diperhatikan
sebagaimana yang ditentukan Pasal 185 ayat (6, ialah:
- Persusaian antara keterangan saksi satu dengan saksi lainnya;
- Persusaian keterangan saksi dengan alat bukti lainya;
- Alasan saksi memberikan keterangan tertentu;
- Cara hidup dan kesusilaan saksi;
Disamping itu, ada hal lain yang juga perlu diperhatikan dalam menilai keterangan saksi, ialah:
- Tanggapan terdakwa terhadap keterangan saksi (Pasal 164 ayat 1), dan
- Persusaian keterangan saksi dipersidangan dengan keterangannya di tingkat penyidikan (Pasal 163).
- Alat Bukti Keterangan Ahli.
- Pengertian Keterangan Ahli.
Dalam
praktik alat bukti ini disebut alat bukti saksi ahli. Tentu saja
pemakaian istilah saksi mengandung pengertian yang berbeda dengan ahli
atau keterangan ahli. Bahwa isi keterangan yang disampaikan saksi adalah
segala sesuatu yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami
sendiri (Pasal 1 angka 26). Pada keterangan saksi haruslah diberikan
alasan dari sebab pengetahuanya itu ( Pasal 1 angka 27). Sedangkan
seorang ahli memberikan keterangan bukan mengenai segala hal yanjg
dilihat, didengar dan dialaminya sendiri, tetapi mengenai hal-hal yang
menjadi atau dibidang keahliannya yang ada hubungannya dengan perkara
yang sedang diperiksa. Keterangan ahli tidak perlu diperkuat dengan
alasan sebab keahliannya atau pengetahuannya sebagaimana pada keterangan
saksi. Apa yang diterangkan ahli adalah suatu penghargaan dari
kenyataan dan atau kesimpulan atas penghargaan itu) berdasarkan keahlian
seorang ahli.
Disamping itu ada
perbedaan lain, apabila keterangan saksi diberikan pada tingkat penyidikan, maka sebelum memberikan keterangan dimuka penyidik ahli
harus mengucapakan sumpah atau janji terlebih dahulu. Saksi yang
memberikan keterangan ditingkat penyidikan dapat bersumpah atau berjanji
apabila ada keadaan khusus sebagai alasan yang dapat diterima penyidik
bahwa ia tidak dapat hadir di sidang pengadilan (Pasal 116).
Syarat –syarat Keterangan Ahli
Keterangan
ahli adalah keterangan yang diberikan seorang yang memiliki keahlian
khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara
pidana guna kepentingan pemriksaan (Pasal 1 angka 28). Apa isi yang
harus diterangkan ahli, serta syarat apa yang harus dipenuhi agar
keterangan ahli mempunyai nilai mempunyai nilai tidaklah diatur dalam
KUHAP, tetapi dapat dipikirkan bahwa berdasarkan Pasal 2 syarat dari
keterangan seorang ahli, ialah:
- Bahwa apa yang diterangkan haruslah mengenai segala sesuatu yang masuk dalam ruang lingkup keahliannya.
- Bahwa yang diterangkan mengenai keahliannya itu adalah berhubungan erat dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.
Karena
merupakan syarat, maka apabila ada keterangan seorang ahli yang tidak
memenuhi salah satu syarat atau kedua syarat, maka keterangan ahli itu
tidaklah berharga dan harus diabaikan. Ketentuan alat bukti keterangan
ahli secara khusus adalah terletak pada 2 syarat tersebut, tetapi
secara umum juga terletak pada syarat-syarat umum pembuktian dari
alat-alat bukti lain terutama keterangan saksi (Pasal 179 ayat 2)
syarat umum dari kekuatan alat bukti termasuk keterangan saksi, yaitu:
- Harus
didukung atau bersusaian dengan fakta-fakta yang didapat dari alat
bukti lain. Sesuai dengan ketentuan Pasal 183 jo Pasal 185 ayat (2),
maka satu-satunya alat bukti – keterangan ahli tidaklah dapat digunakan
sebagai dasar bentuk keyakinan hakim. Kekuatan bukti keterangan ahli
bukanlah sebagai tambahan bukti seperti saksi yang tidak disumpah
sebagaimana saksi keluarga menurut Pasal 185 ayat 7 atau saksi anak dan
saksi yang sakit ingatan (Pasal 171). Mengapa demikian? Karena
keterangan ahli adalah merupakan alat bukti tersendiri seperti juga
alat-alat bukti yang lain yang disebutkan dalam Pasal 184. Nilai
kekuatan keterangan ahli sama seperti alat bukti yang lain adalah
mengandung kekuatan bukti bebas, bebas dalam menilainya, bukan
mengandung nilai sempurna seperti akta otentik bagi para pihak dalam
perkara perdata (Pasal 1868 BW).
- Keterangan
ahli harus diatas sumpah sama dengan alat bukti keterangan saksi
(Pasal 60 ayat 4 jo 179 ayat 2). Keterangan ahli yang diberikan dimuka
sidang tetap wajib disumpah, walaupun seorang ahli telah disumpah
ketika ahli akan memberikan keterangan ditingkat penyidikan berdasarkan
Pasal 120 ayat (2). Hal ini wajar karena menurut Pasal 185 keterangan
ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan. Oleh
karena itu, sumpah ditingkat penyidikan adalah ditujukan hanya untuk
meletakkan kebenaran keterangan ahli yang diberikan ditingkat
penyidikan saja.
Walaupun
HIR juga telah mengenal keterangan ahli, fungsi dan cara pengunaannya
tidak sama dengan keterangan ahli menurut KUHAP. Dalam HIR keterangan
ahli bukanlah sebagai alat bukti, karena tidak disebut dalam Pasal 295,
sedangkan menurut KUHAP keterangan ahli adalah sebagai alat bukti,
karena disebut dalam Pasal 184, pada urutan kedua. Fungsi keterangan
ahli menurut Pasal 306 HIR dapat digunakan hanya untuk memberikan
keterangan pada hakim. Hakim boleh mengambilnya sebagai pandapatnya
sendiri dan boleh juga tidak. Akan tetapi, kini didalam KUHAP fungsi
keterangan ahli menjadi lain. Kedudukan keterangan ahli sebagai alat
bukti yang lain. Peningkatan fungsi dan kedudukan keterangan ahli
menjadi alat bukti dapat diterima. Mengingat perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi sekarang sangat pesat yang tidak mungkin hakim
dapat menguasai semua bidang ilmu dan teknologi tersebut, sehingga
wajar apabila sekarang hakim percaya dengan keterangan ahli.
Tidak
seperti keterangan saksi, keterangan ahli dibedakan menjadi 2 (dua)
macam, ialah: (1) keterangan ahli secara lisan di muka sidang, dan (2)
keterangan ahli secara tertulis diluar sidang. Keterangan ahli tertulis
ini dituangkan dalam suatu surat yang menjadi alat bukti surat, seperti
apa yang disebut visum et repertum (VER) yang diberikan pada tingkat penyidikan atas permintaan penyidik (Pasal 187 huruf c).
Siapakah yang Disebut ahli?
Siapakah
atau syarat apakah yang harus dimiliki oleh seseorang sehingga ia
menjadi seorang ahli. Pasal 1 angka 28 sekedar menyebut orang yang
memiliki keahlian khusus, tetapi apa kriterianya tidak dijelaskan.
Memang, ada beberapa Pasal yang dalam rumusannya menyebut kualifikasi
keahlian khusus, seperti : ahli yang mempunyai keahlian tentang surat
dan tulisan palsu (Pasal 132); ahli kedokteran kehakiman atau dokter
(Pasal 133 ayat 1, Pasal 179 ayat 1), tetapi penyebutan itu bukanlah
mengandung syarat-syarat seorang ahli,
melainkan menyebut bidang-bidang keahlian tertentu. Sudah barang tentu
masih banyak bidang keahlian, bahkan tidak terbatas banyaknya keahlian
diluar bidang-bidang kehlian yang telah disebut dalal Pasal-pasal
tersebut.
Dari sudut sifat isi keterangan yang diberikan ahli, maka ahli dapat dibedakan antara:
- Ahli
yang menerangkan tentang hasil pemeriksaan sesuatu yang telah
dilakukannya berdasarkan keahlian khusus untuk itu. Misalnya, seorang
dokter ahli porensik yang memberikan keterangan ahli disidang
pengadilan tentang pneyebab kematian setelah dokter tersebut melakukan
bedah mayat (otopsi).
Atau seorang akuntan memberikan keterangan disidang pengadilan
tentang hasil audit yang dilakukannya atas keuangan suatu instansi
pemerintah.
- Ahli yang
menerangkan semata-mata tentang keahlian khusus mengenai sesuatu hal
yang berhubungan erat dengan perkara pidana yang sedang di periksa
tanpa melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Misalnya, ahli dibidang
perakit bom yang menerangkan di dalam sidang pengadilan tentang cara
merakit bom. Bahkan, dalm praktik, seorang ahli hukum bidang
keahlian/konsentrasi khusus acap kali digunakan dan mereka di sebut
seirang ahli.
Seorang
ahli tidak selalu di tentukan oleh adanya pendidikan formal khususuntuk bidang keahliannya seperti ahli kedokteran forensik, tetapi pada
pengalaman dan atau bidang pekerjaan tertentu yang di tekuni selama
waktu yang panjang, yang menurut akal sangat wajar menjadi ahli dalam
bidang khusus tersebut. Misalnya, keahlian dibidang kunci, pertukangan
dll. Hakimlah yang menetukan seorang sebagai ahli atau bukan melalui
pertimbangan hukumnya. Dalam
praktik acapkali JPU atau penasihat hukum menghadapkan orang yang
disebut sebagi ahli kesidang pengadilan. Tidak jarang pula terjadi
perdebatan antara jaksa dengan penasihat hukum tentang status orang
yang dihadapan itu. Dalam menghadapi perdepatan mengenai ahli dan buka
ahli hakimlah pada akhirnya yang menentukan orang itu ahli atau bukan
ahli. Berdasarkan Pasal 160 ayat (1c) sewajarnya hakim memeriksa saja
orang yang dihadapkan, nanti dipertimbangkan dalam putusan apakah
seseorang itu ahli atau bukan. Sewajarnya tidak meluluh melihat ijazah
atau pendidikan formal. Pada kenyatannya, pendidikan formal atau gelar
pendidikan formal tidak selamanya cukup untuk dapat digunakan sebagai
ukuran tentang keilmuan,atau keahlian yang dimiliki sesorang, melainkan
harus ditambah bahwa bidang pendidikan formalnya tadi kemudian telah
ditekuninya sebagai bidang pekerjaannya dalam waktu yang panjang. Kadang
itu pun tidak cukup. Oleh karena itu, sebaliknya hakim tidak
semata-mata mendasarkan pertimbangan pada gelar atau pendidikan formal
untuk menetapkan seorang ahli melainkan hakim perlu meneliti apakah
kompetensi orang itu pada kenyataannya diakui oleh masyarakat secara
luas ataukah tidak. Atau setidaknya mendapat penunujukan dari lembaga
resmi yang sah yang berhubungan dengan bidang keahlian orang itu,
misalnya, dari instansi yang bersangkutan.
Alat Bukti Surat
Syarat Surat Agar Menjadi Alat Bukti Yang Sah.
KUHAP
sedikit sekali mengatur tentang alat bukti surat. Hanya dua pasal,
yakni Pasal 184 dan secara khusus Pasal 187. HIR juga demikian, secara
khusus diatur dalam tiga pasal saja, yakni Pasal 304, 305, 306. Walaupun
hanya 3 pasal yang isinya hampir sama dengan Pasal 187 KUHAP, dalam
Pasal 304 HIR, disebutkan bahwa aturan tentang nilai kekeuatan dari alat
bukti surat-surat pada umumnya dan surat-surat resmi (openbaar)
dalam hukum acara perdata harus dituntut dalam hukum acara pidana.
Dengan demikian, mengenai surat-surat pada umumnya (maksudnya di bawah
tangan) dan surat-surat resmi (akta otentik) mengenai nilai
pembuktiannya dalam perkara pidana harus menurut hukum acara perdata.
Saya ketentuan seperti Pasal 304 HIR ini, tidak ada dalam KUHAP. Dulu
ketika ketika HIR masih berlaku, berdasarkan Pasal 304 ini praktik
hukum perkara pidana mengenai penggunaan dan penilaian alat bukti surat
dapat meniru pembuktian dengan alat bukti surat dalam hukum acara
perdata. Artinya, pembuktian dengan surat dalam hukum acara perdata
berlaku pula pada pembuktian dengan surat dalam perkara pidana, tetapi
sekarang setelah berlakunya KUHAP, sudah tidak lagi. Segala sesuatunya
diserahkan pada kebijakan hakim, dengan alasan bahwa alat-alat bukti
dalam perkara pidana adalah merupakan alat bukti bebas. Tidak ada
sesuatu alat bukti pun yang mengikat hakim, termasuk akta otentik.
Penilaiannya diserahkan pada hakim.
Berdasarkan
sistem pembuktian yang berbeda, apapun alat buktinya seperti akta
otentik yang menurut hukum acara perdata adalah alat bukti sempurna,
tetapi dalam hukum pembuktian perkara pidana satu akta otentik saja akan
lumpuh kegiatan buktinya apabila tidak ditunjang oleh alat bukti lain,
walaupun hakim yakni kebenaran dari akta otentik tersebut, karena
dalam hukum pembuktian perkara pidana diikat lagi dengan beberapa
ketentuan ketentuan yakni:
- Adanya
syarat minimal pembuktian. Satu alat bukti saja tidaklah cukup dalam
perkara pidana, melainkan harus minimal dua alat bukti (Pasal 184 jo
185 ayat 2);
- Diperlukan
adanya keyakinan hakim. Dari minimal dua alat bukti terbentuklah
keyakinan tentang 3 hal (terjadi tindak pidana terdakwa melakukannya,
dan ia dapat dipersalahkan atas perbuatannya itu (Pasal 183).
Macam Surat Sebagai Alat Bukti.
Menurut
Pasal 187 ada 4 (empat) surat yang dapat dipergunakan sebagai alat
bukti. Tiga surat harus dibuat diatas sumpah atau dikuatkan dengan
sumpah (Pasal 187 huruf a,b,c), sedangkan surat yang ke empat adalah
surat dibawah tangan (Pasal 187 huruf d).
Tiga jenis huruf yang dibuat diatas sumpah atau dikaitkan dengan sumpah tersebut dengan sumpah tersebut adalah:
- Berita
acara dan surat lain dalam bentuk resmi dan dibuat oleh pejabat umum
yang berwewenang atau yang dibuat dihadapannya, yang mememuat
keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar , dilihat, atau
dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas
tentang keterangannya itu.
- Surat
yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat
yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata
laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan diperuntuhkan bagi
pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; surat keterangan dari
seseorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai
sesuatu hal atau sesuatu keadaan.
Adapunyang dimaksud huruf a adalah surat mengandung unsur sebagai berikut;
- diatas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah pejabat yang membuatnya;
- Dibuat oleh pejabat umum atau dibuat dihadapannya;
- Surat dalam bentuk resmi;
- Isi
suratnya adalah keterangan mengenai kejadian atau keadaan yang
didengar,dilihat atau yang dialaminya sendiri, yang disertai dengan
alasan yang jelas dan tegas dalam surat itu.
Suatu
yang dimaksud huruf a ini misalnya, akta perjanjian oleh para pihak
yang dibuat oleh atau dihadapan notaris berupa partijakte. Juga
akta-akta yang dibuat oleh pejabat umum itu sendiri (akte ambtelijk ) seperti berita acara penyitaan dibuat oleh penyidik.
Surat
yang disebut pada huruf b, adalah surat-surat yang dibuat oleh pejabat
umum mengenai hal-hal yang masuk bidang tata laksana administrasi yang
menjadi tugas dari pejabat umum tersebut. Tujuan dibuatnya surat ini
untuk pembuktian mengenai suatu hal atau suatu keadaan. Misalnya, untuk
membuktikan adanya surat perkawinan disebut surat nikah untuk
membuktian adanya kematian disebut akta kematian, untuk membuktikan
sebagai penduduk disebut dengan kartu tanda penduduk (KTP).
Surat
yang disebut pada huruf c adalah surat yang dibuat seorang ahli yang
isi berupa pendapat mengenai hal tertentu dalm bidang keahliaanya itu
yang hal tersebut berhubungan dengan suatu perkara pidana. Surat ini
dibuat memenuhi permintaan secara resmi. Contohnya surat visum et repertum yang
dibuat oleh dokter untuk memenuhi permintaan penyidik dalam upaya
mengumpulkan alat bukti suatu perkara penganiayaan atau pembunuhan.
Sedangkan
surat lain yang dimaksud huruf d, sebenarnya bukan surat yang dibuat
oleh pejabat umum atau dihadapannya, tetapi surat biasa, yang bukan
merupakan akta yang dimaksud huruf a,b dan c.
Alat Bukti Petunjuk
Apabila
kita bandingkan dengan 4 (empat) alat-alat bukti yang lain daam Pasal
184, maka alat bukti petunjuk ini bukanlah suatu alat bukti yang bulat
dan berdiri sendiri, melainkan suatu alat bukti bentukan hakim. Hal itu
tampak dari batasannya dalam ketentuan Pasal 188 ayat (1) yang
menyatakan bahwa “petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang
karena persusaiannya, baik anatara yang suatu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu
tindak pidana dan siapa pelakunya”.
Karena
keberadaan dan bekerjanya alat bukti petunjuk ini cenderung merupakan
penilaian terhadap hubungan atau persusaian antara isi dari beberapa
alat bukti lainnya, dan bukanlah alat bukti yang berdiri sendiri, maka
dapat dimaklumi apabila sebagian ahli manaruh sangat keberatan atas
keberadaannya dan menjadi bagian dalam hukum pembuktian perkara pidana. Karena
alat bukti petunjuk ini adalah berupa pemikiran atau pendapat hakim
yang dibentuk dari hubungan atau persusaian alat bukti yang ada dan
dipergunakan dalam sidang, maka sifat subyektivitas hakim lebih dominan.
Oleh karena itu Pasal 188 ayat (3) mengingatkan hakim agar dalam
menilai kekuatan alat bukti petunjuk dalam setiap keadaan tertentu harus
dilakukan dengan arif dan bijaksana, setelah hakim memeriksa dengan
cermat dan saksama yang didasarkan hati nuraninya.
Apabila
kita membaca dengan teliti mengenai rumusan tentang pengertian alat
bukti petunjuk dalam Pasal 188 ayat (1) dan ayat (2), maka unsur atau
syarat alat bukti petunjuk adalah:
- Unsur pertama, adanya perbuatan, kejadian, keadaan yang bersesuaian;
- Unsur kedua, ada 2 (dua) persusaian, ialah;Bersusaian
antara masing-masing perbuatan, kejadian dan keadaan satu dengan yang
lain, maupun.Bersusaian antara perbuatan, kejadian, dan atau keadaan
dengan tindak pidana yang didakwakan;
Unsur ketiga, dengan adanya persusaian yang dengan demikian itu menandakan (menjadi suatu tanda) atau menunjukkan adanya 2 (dua) in casu kejadian, ialah:
- Kedua petunjuk hanya dapat dibentuk melalui 3 alat bukti, yaitu keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.
- Adanya Perbuatan , Kejadian dan Keadaan.
Bahwa
apa yang dimaksud dengan perbuatan, kejadian atau keadaan adalah
fakta-fakta yang menunjukkan tentang terjadinya tindak pidana,
menunjukkan terdakwa yang melakukannya dan menunjukkan terdakwa bersalah
karena melakukan tindak pidana tersebut. Fakta-fakta inilah dan
ditambah alat bukti lainnya lagi, dapat dipergunakan oleh hakim dalam
hal membentuk keyakinannya.
Sedangkan
sumber diperolehnya tiga fakta tentang perbuatan, kejadian, keadaan
itu menurut ketentuan Pasal 188 ayat (2) adalah harus didapat dari 3
(tiga) alat bukti terdakwa. Menurut hemat penulis didapat dari dua alat
bukti baik jenis yang sama maupun jenis yang berlainan diantara tiga
alat bukti tersebut sudalah cukup.
Kapankah
alat bukti petunjuk ini diperlukan? Tentu saja bukti petunjuk ini baru
penting untuk dipergunakan dalam hal apabila dari alat-alat bukti yang
ada belum dapat membentuk keyakinan hakim tentang terjadinya tindak
pidana dan keyakinan terdakwa bersalah melakukannya. Haklim ini belum
dapat membentuk keyakinan karena dua kemungkinan, yaitu:
- Kemungkinan
pertama, belum memenuhi syarat minimal pembuktian yakni
sekurang-kurangnya dua alat bukti. Bisa saja ada dua atau tiga alat
bukti, tetapi dua atau lebih alat bukti itu menghasilkan masing-masing
fakta yang berdiri sendiri dan tidak mengenai suatu fakta yang
membuktikan terjadinya tindak pidana dan atau terdakwa yang
melakukannya. Misalnya, saksi korban menerangkan bahwa terdakwa memukul
korban, tetapi terdakwa menyangkalnya. Satu saksi saja tidak cukup
untuk membuktikan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana
(penganiayaan) yang terdakwa (Pasal 185 ayat 2). Dalam hal ini hakim
penting membentuk alat bukti petunjuk untuk memenuhi syarat minimal
bukti menurut Pasal 183.
- Kemungkinan
kedua, bisa saja ada dua alat bukti yang menghasilkan fakta yang sama
tentang suatu kejadian, perbuatan atau keadaan, tetapi dari dua alat
bukti belum dapat meyakinkan hakim tentang terjadinya tindak pidana
dan tidak meyakinkan hakim tentang terdakwa pembuatanya. Dua atau
lebih alat bukti tidaklah dapat memaksa hakim untuk menjatuhkan pidana
apabila dari beberapa alat bukti yang ada itu ia tidak yakin tentang
terjadinya tindak pidana, atau terdakwa bersalah melakukannya. Untuk
keyakinan itu hakim dapat melakukan upaya misalnya, pemeriksaan
setempat. Dua alat bukti yang semula belum dapat meyakinkan hakim, bisa
jadi setelah melakukan pemeriksaan setempat, hakim dapat membentuk
alat bukti petunjuk dari dua alat bukti semula ditambah hasil
pemeriksaan setempat atau sidang setempat tadi.
Hanya
dalam dua kemungkinan tersebut diatas itu saja, hakim penting untuk
mempergunakan haknya membentuk alat bukti petunjuk, apabila tiga
syarat/unsur alat bukti petunjuk itu memang ada. Tentu saja alat bukti
petunjuk ini dipergunakan untuk memenuhi salah satu atau kedua syarat
diatas, sehingga:
- Dalam
hal kemungkinan yang pertama, alat bukti petunjuk dapat memenuhi
syarat minimal pembuktian. Seperti contoh diatas tadi hanya satu saksi
korban yang menerangkan bahwa terdakwa memukul korban. Sedangkan
terdakwa menyangkal. Ditambah dengan satu lagi alat bukti petunjuk,
yang dibentuk misalnya dari keterangan saksi korban tadi dihubungkan
dengan muka memar pada muka korban yang tertera dari hasil visum et repertum (alat
bukti surat) dan keterangan satu saksi lainnya yakni tetangga korban
yang mendengar suara terdakwa marah-marah dari dalam rumah tempat
kejadian dan mendengar suara korban yang mengaduh kesakitan, dan
melihat terdakwa pergi dari rumah korban. Dengan demikian, keyakinan
hakim dapat dibentuk atas dua alat bukti, yakni saksi korban dan
petunjuk.
- Dalam hal kemungkinan
yang kedua,dengan alat bukti yang sudah ada ditambah dengan alat
bukti yang sudah memenuhi minimal pembuktian, tetapi belum dapt
meyakinkan hakim, maka setelah mempergunakan haknya membentuk alat
bukti petunjuk hakim menjadi yakin tentang terjadinya tindak pidana
dan terdakwa bersalah melakukannya. Misalnya, dalam hal yang sudah
memenuhi syarat minimal 2 alat bukti, yakni saksi A dan B keduanya
menerangkan kejadian yang sama yakni terdakwa memukul A, tetapi saksi B
yang umurnya telah sangat tua yang dalam sidang menunjukkan adanya
gejala pikun yang menyebabkan hakim menjadi ragu tentang
keterangannya. Dalam hal demikian, hakim dapat menggunakan haknya
membentuk dan mempergunakan alat bukti petunjuk untuk memperoleh
keyakinannya tersebut, apabila ada alat bukti yang lain, misalnya
sebuah surat dari terdakwa pada korban A yang isinya mengancam dengan
kekuasaan
Seperti diatas telah diterangkan,bahwa ada dua bagian persesuaian, yakni:
- Persusaian
yakni pertama, adalah persusaian antara masing-masing perbuatan,
antara masing-masing keadaan, antara masing-masing kejadian atau
terhadap yang satu dengan yang lainnya. Artinya, fakta-fakta tentang
perbuatan, kejadian dan keadaan yang diperoleh dari dua atau lebih alat
bukti keterangan saksi, keterangan terdakwa, dan atau surat, walaupun
berbeda-beda, masing-masing ada hubungan erat, atau dapat
dihubungkan. Hubungannya itu bersifat saling melengkapi, saling
menunjang antara satu terhadap lainnya, sehingga dapat ditarik suatu
kesimpulan (petunjuk) bahwa benar telah terjadi tindak pidana dan
terdakwa bersalah melakukannya.
- Persusaian
yang kedua, adalah persusaian antara perbuatan, kejadian atau keadaan
dengan tindak pidana yang didakwakan. Setiap tindak pidana mengandung
unsur-unsur. Kompleksitas unsur-unsur itulah yang dinamakan tindak
pidana. Oleh karena itu, bersusaian dengan unsur-unsur yang ada,
walaupun mungkin isi dari suatu alat bukti yang bersusaian dengan
sebagai unsur saja. Namun, dari persusaian alat bukti ini dan isi dari
alat bukti lainnya harus dapat menunjukkan (dapat disimpulkan) secara
akal telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pembuatnya. Dua
persusaian itu sifatnya kumulatif dan impertatif. Artinya, tidak cukup
satu persusaian saja, namum harus kedua-dua persusaian