Keadilan

Keadilan

Rabu, 29 Februari 2012

Pengertian Tindak Pidana Korupsi






Gorte Winkler Prins (2005:8), dalam kamus hukum ensiklopedia menyebutkan bahwa meskipun kata Corruption itu luas sekali artinya namun sering kali corruption dipersamakan artinya dengan penyuapan.
Arti harfiah dari kata korupsi adalah sesuatu yang busuk jahat dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral sifat d...an keadaan yang busuk jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya.

Subekti dan Tjitrosudibio (2007:9) dalam kamus hukum, mengemukakan, bahwa yang dimaksud Curruptie adalah korupsi; perbuatan curang ; tindak pidana yang merugikan keuangan negara.

H. Baharuddin lopa (1997:6), mengemukakan:

“ Tindak pidana korupsi adalah suatu tindak pidana yang dengan penyuapan manipulasi dan perbuatan-perbuatan melawan hukum yang merugikan atau dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan atau kepentingan rakyat/umum. Perbuatan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara adalah korupsi dibidang materil, sedangkan korupsi dibidang politik dapat terwujud berupa memanipulasi pemungutan suara dengan cara penyuapan, intimidasi paksaan dan atau campur tangan yang mempengaruhi kebebasan memilih komersiliasi pemungutan suara pada lembaga legislatif atau pada keputusan yang bersifat administratif dibidang pelaksanaan pemerintah”.

Menurut Aswanto dalam kuliah pada semester akhir 2010. Beliau mengemukakan bahwa:

“Secara sistematik tindak pidana korupsi terdiri atas kata tindak pidana/delik dengan kata korupsi. Tindak pidana/delik adalah perbuatan yang dilarang dalam peraturan perundang-undangan yang disertai dengan ancaman pidana terhadap siapa yang melakukan perbuatan yang dilarang tersebut. Apa bila dua kata tersebut digabung yaitu tindak pidana/delik dengan korupsi menjadi tindak pidana korupsi dapat diartikan sebagai berikut. Rumusan-rumusan tentang segala perbuatan yang dilarang/diperintahkan dalam undang-undang No. 3 Tahun 1971, yang kemudian disempurnkan dengan No. 31 Tahun 1999 selanjutnya di ubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, tentang korupsi, dirumuskan dalam Pasal 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10,11, 12, 12B, 13, 15,16, 21,22, 23 dan 24. (Dari pasal-pasal tersebut diatas ada 44 rumusan tindak pidana korupsI UU No. 7 Tahun 2006”.


Undang-undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelengaraan Negara yang Bebas dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) merumuskan: korupsi adalah tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan peraturan-peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.Dengan perumusan yang demikian maka menunjuk pada peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi yakni: Undang-undang No.20 Tahun 2001 yang telah merubah Undang-undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kini berlaku sebagai hukum positif tentang korupsi.


Tindak Pidana Korupsi pada umumnya memuat efektivitas yang merupakan manifestasi dari perbuatan korupsi dalam arti luas mempergunakan kekuasaan atau pengaruh yang melekat pada seseorang pegawai negeri atau istimewa yang dipunyai seseorang didalam jabatan umum yang patut atau menguntungkan diri sendiri maupun orang yang menyuap sehingga dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi dengan segala akibat hukumnya yang berhubungan dengan hukum pidana acaranya.

Adapun perbuatan korupsi menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun1999 tentang Pemberantasan Korupsi Pasal 2 ayat (1) (2) dan Pasal 3 yang penulis simpulkan sebagai berikut:

“Tindak Pidana Korupsi adalah setiap perbuatan seseorang atau badan hukun yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara dan atau perekonomian Negara atau diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara”.


Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi disamping manusia sebagai pemangku hak-hak dan kewajiban-kewajiban untuk melakukan tindakan hukum.
Korporasi sebagai subjek tindak pidana, sebenarnya merupakan akibat perubahan-perubahan dalam masyarakat dalam menyalankan aktifitas usaha. Pada masyarakat yang masih sederhana kegiatan usaha yang masih dijalankan secara perorangan. Namun dalam perkembangan masyarakat yang tidak lagi sederhana, timbul kebutuhan untuk mengadakan kerja sama dengan pihak lain dalam menjalankan usaha. Beberapa hal yang menjadi faktor pertimbangan untuk mengadakan kerja sama, antara terhimpun modal yang lebih banyak tergabungnya keterampilan dalam suatu usaha jauh lebih baik dibanding suatu usaha dijalankan sesorang diri dan mungkin pula atas pertimbangan dapat membagi resiko kerugian.

Arti Pembuktian dan Hukum Pembuktian



             
Bahwa pada dasarnya seluruh kegiatan dalam proses hukum penyelesaian perkara pidana sejak penyelidikan sampai putusan akhir diucapkan dimuka persidangan oleh majelis hakim adalah berupa kegiatan yang berhubungan dengan pembuktian atau kegiatan untuk membuktikan. Walaupun hukum pembuktian operkara pidana terfokus pada proses sesungguhnya proses membuktikan sudah ada dan dimulai pada saat penyidikan. Bahkan, pada saat proses perkara pidana oleh negara. Perhatikanlah batasan tentang penyelidikan, ialah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan menyedikan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini (Pasal 1 angka 5 KUHAP). Perhatikan pula batasan tentang penyidikan dalam hal dan menurut cara serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka 2). 

Tampak jelas dalam batasan tentang penyelidikan bahwa untuk menemukan suatu peristiwa yang diduga mengandung muatan tindak pidana, dalam rangka untuk menentukan langkah berikutnya ialah dapat ataukah tidak dapat dilakukan pekerjaan lanjutan – penyidikan, tentulah juga diperlukan bukti-bukti dalam derajat tertentu. Untuk menemukan suatu peristiwa sudah barang tentu diperlukan tanda-tanda adanya peristiwa tersebut, dan tanda-tanda itu disebut sebagai bukti. Tersebut, dan tanda-tanda itu disebut sebagai bukti. Oleh karena itu, pada kegiatan penyelidikan pun sesungguhnya dapat dikategorikan kedalam pekerjaan pembuktian. Demikian juga pada penyidikan, untuk membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi dan untuk menemukan tersangkanya oleh penyidik, diperlukan pula bukti-bukti. 

Mencari bukti yang dimaksud sesungguhnya mencari alat bukti tersebut hanya terdapat atau dapat diperoleh dari alat bukti dan termasuk barang bukti. Bukti yang terdapat pada alat bukti itu kemudian dinilai oleh pejabat penyelidik atau menarik kesimpulan, apakah bukti yang ada itu menggambarkan suatu peristiwa yang diduga tindak pidana ataukah tidak. Bagi penyidik bukti yang terdapat dari alat bukti itu dinilai untuk menarik kesimpulan apakah dari bukti yang ada itu sudah cukup untuk membuat terang tindak pidana yang terjadi dan sudah cukup dapat digunakan untuk menemukan tersangkanya.
  
Jika pekerjaan itu pada tahap penyidikan, maka dari bukti-bukti yang diperoleh penyidik itu digunakan untuk membuat terang tindak pidana yang semula diduga terjadi, dan sudah cukup pula untuk digunakan menemukan tersangkanya. Pekerjaan mencari bukti-bukti dan menilainya serta menarik kesimpulan oleh penyelidik atau penyidik inipun dapat disebut pekerjaan pembuktian, walaupun in casu tidak sama arti dan isinya dengan istilah pembuktian yang berlaku dan dijalankan didalam sidang pengadilan pidana, yang selama ini oleh para praktisi disebut sebagai pembuktian. 

Memang, ada perbedaan antara pembuktian dalam proses sebelum penuntutan dan dalam proses penuntuan/ pemeriksaan disidang pengadilan. Pembuktian dalam proses sebelum penentutan in casu penyidikan terfokus pada kegiatan mengumpulkan bukti in casu dari alat-alat bukti, yang pada dasarnya adalah kegiatan mencari / mengumpulkan bukti, dan kemudian mengurai, menganalisis, menilai dan menyimpulkan dalam suatu surat yang disebut dengan Resume. Kelak semuanya (alat-alat bukti beserta penilaian penyidik ini) akan diusung jaksa PU kedalam sidang,dan diperiksa ulang dihadapan 3 tiga pihak hakim, jaksa penuntut umum (JPU) dan terdakwa /penasihat hukumnya. Bukti yang sah, dalam arti bukti yang dapat dinilai dan dipertimbangkan hakim dalam rangka membentuk keyakinannya untuk tujuan satu-satunya membuat putusan perkara pidana, adalah bukti yang dapat dari alat bukti yang diajukan dan diperiksa dalam persidangan, dan bukan bukti yang dapat dari hasil penyidikan. Bukti yang dari hasil penyidikan hanyalah dapat digunakan oleh JPU sebagai dasar menyusun surat dakwaan. Di dalam sidang pengadilan, bukti atau alat bukti yang didapat dari pekerjaan penyidikan hanyalah berfungsi membantu menemukan bukti, dan memberi arahan bagi hakim, jaksa penuntut umum maupun penasihat hukum dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan berdialog terhadap saksi-saksi dan terdakwa atau berdialog antara hakim dengan jaksa penuntut umum maupun dengan penasihat hukum atau satu sama lainnya. 

Kegiatan pembuktian dalam sidang pengadilan, tidak berfokus lagi pada pencarian alat-alat bukti (yang memuat bukti-bukti) dan mengurai bukti-bukti, akan tetapi memeriksa alat-alat bukti yang sudah terlebih dahulu disiapkan oleh penyidik, dan diajukan JPU dalam sidang untuk diperiksa bersama tiga pihak tadi. Pada dasarnya kegiatan dalam sidang pengadilan perkara pidana adalah kegiatan pengungkapan fakta-fakta suatu peristiwa melalui berbagai alat bukti dan kadang ditambah barang bukti. Kegiatan ini sering disebut dengan pemeriksaan alat-alat bukti. Fakta-fakta yang diperoleh itu akan dirangkai menjadi satu peristiwa, peristiwa mana seperti apa yang sebenarnya (kebenaran materiel), mendekati yang sebenarnya ataukah jauh dari kebenaran yang sesungguhnya; begitu juga apakah peristiwa tersebut mengandung muatan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan JPU atau tidak, akan bergantung sepenuhnya kepada akurat atau tidaknya dan lengkap atau tidaknya fakta-fakta yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. 

Selain itu, dalam hal bagaimana cara menilai tentang apa yang ditemukan sebagai bukti pada kegiatan penyelidikan maupun penyidikan. Demikian pula dalam hal standar apa yang digunakan dalam hal menarik kesimpulan dari proses penilaian bukti-bukti tersebut, tidaklah diatur secara khusus dalam KUHAP, melainkan bergantung kepada penilaian penyelidik dan atau penyidik sendiri. Tentulah subjektivitas pejabat penyelidik maupun penyidik mengedepankan dalam proses penilaian terhadap bukti yang didapatnya. Lihatlah istilah bukti yang cukup sebagai kesimpulan penyidik untuk menetapkan status seorang menjadi tersangka atas perbuatan yang dilakukannya dalam Pasal 1 angka 14. Bagaimana cara penilaiannya atas bukti yang didapatnya dan bagaimana cara mengambil kesimpulan tersebut, tidaklah diatur sedikitpun dalam KUHAP. Walaupun demikian, berdasarkan apa yang telah diterangkan diatas, maka dalam tahap penyidikan pun sesungguhnya telah terjadi kegiatan pembuktian sebagaimana terbukti dalam hal penyidik menetapkan status tersangka pada seseorang karena perbuatan yang dilakukannya. Standar bukti yang ada dalam Pasal 183 KUHAP dapat pula menjadi pegangan penyidik atau penyelidik dalam bekerja mencari alat-alat bukti dan menilainya. 

Dengan dasar pertimbangan seperti itulah, maka dalam praktik kegiatan pembuktian diartikan hanyalah kegiatan pembuktian dalam persidangan, dan tidak termasuk kegiatan penyelidikan dalam mencari bukti dalam penyelidikan maupun mengumpulkan alat bukti dan atau barang bukti yang menjadi tugas pokok penyidik dalam pekerjaan penyidikan. 

Dalam sidang dengan acara pemeriksaan biasa peradilan pidana, selalu terdapat 3 (tiga) pihak: majelis hakim berikut panitera perkara, JPU dan terdakwa yang (boleh) didampingi penasihat hukum. Menurut sistem hukum acara (khususnya hal pemeriksaan) akusator (accusatior) sebagaimana yang kita anut, terdakwa adalah pihak (subyek) dan bukan objek yang diperiksa. Karena itu, dalam sidang pengadilan, kedudukan terdakwa adalah sama/ setara dengan pihak negara yang diwakili JPU. Tiga pihak ini menjalankan persidangan bersama yang dikendalikan oleh majelis hakim, khususnya hakim ketua. Karena pihak JPU dan PH berbeda fungsi dan tugasnya, maka tidak aneh dan dapat diterima oleh siapapun dan apabila dalam pengungkapan fakta-fakta – masing-masing pihak akan berusaha ikut terlibat aktif dalam mengarahkan jalannya sidang melalui pertanyaan-pertanyaan pada saksi-saksi, ahli terutama antara JPU dengan penasihat hukum atau JPU dengan majelis hakim atau penasihat hukum dengan majelis hakim. 

JPU akan berusaha mengarahkan jalannya sidang untuk mendapatkan fakta-fakta yang akan menguntungkan dan memperkuat posisinya sebagai pejabat pendakwa dan penuntut (requisitoir) untuk dapat mempengaruhi pendapat atau keyakinan hakim tentang telah terbukti tindak pidana dakwaan dan terdakwa bersalah melakukakannya. 

Sebaliknya, PH akan berusaha mengarahkan jalannya sidang untuk mendapatkan fakta-fakta yang menguntungkan posisi terdakwa. Fakta-fakta yang menguntungkan terdakwa ini pada akhirnya akan dianalisis konstruksi peristiwanya berikut konstruksi hukumnya dalam pembelaannya. Dalam analisis konstruksi peristiwanya diarahkan oleh PH kearah tidak terbukti adanya muatan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan, dan diarahkan untuk mempengaruhi majelis hakim agar tidak terbentuk keyakinanya telah terjadi tindak pidana dan terdakwa bersalah melakukannya. Setidak-tidaknya dalam persidangan PH akan mencari untuk menemukan fakta-fakta, yang fakta-fakta itu akan dianalisis olehnya untuk mengungkap bahwa apa yang telah diperbuat terdakwa dalam peristiwa yang terjadi terdapat alasan peniadaan pidana baik yang terdapat dalam undang-undang maupun yang diluar undang-undang, seperti tiadanya kesalahan atau hapusnya sifat melawan hukum perbuatan (secara materiel). Atau paling apes penasihat hukum dapat menemukan dan mengemukakan hal-hal yang meringankan beban pertanggungjawaban pidana terdakwa. 

Sedangkan Majelis hakim sebagai pihak yang memimpin, akan mengendalikan jalannya persidangan untuk mendapatkan fakta-fakta sebenar-benarnya baik yang meringankan, yang memberatkan atau tidak memberatkan kedua belah pihak. Fakta-fakta tersebut nantinya akan dibahas dan dianalisis sehingga menggambarkan peristiwa apa yang sesungguhnya terjadi untuk dapat dipastikan menurut akal apakah benar ataukah tidak benar terjadinya tindak pidana sebagaimana yang didakwakan jaksa penuntut umum. 

Seluruh rangkaian kegiatan dalam sidang pengadilan yang dijalankan bersama oleh tiga pihak dengan kendali pada majelis hakim itulah yang dalam praktik dan dengan demikian juga dalam banyak literatur hukum disebut dengan kegiatan pembuktian. Sedangkan kegiatan mencari dan menggumpulkan bukti dan menilainya dan kemudian menarik kesimpulan pada tingkat penyelidikan maupun penyidikan tidaklah dianggap sebagai kegiatan pembuktian. Anggapan yang demikian cukup beralasan, mengingat dalam KUHAP perihal pembuktian dalam persidangan pengadilan saja yang diatur secara lengkap, artinya jelas dasar hukumnya (Bagian keempat Bab XVI). Sedangkan pembuktian dalam tahap penyelidikan dan penyidikan tidaklah diatur secara khusus. 

Karena kegiatan pembuktian ini adalah suatu proses in casu proses pembuktian, maka setiap proses mestilah ada permulaan dan ada pula akhirnya. Proses pembuktian disidang pengadilan, dimulai sejak diperiksannya saksi korban (pertama), Artinya, setelah surat dakwaan dibacakan JPU atau jika terhadap surat dakwaan diajukan eksepsi oleh PH, setelah dibacakannya putusan sela oleh majelis hakim. Menurut Pasal 160 ayat (1) huruf b saksi pertama yang diperiksa adalah saksi korban. Sejak itu mulailah kegiatan pembuktian. 

Mengenai hal dimulainya proses pembuktian dalam sidang pengadilan adalah sama bagi JPU, PH dan PH dan majelis hakim, tetapi tidak sama mengenai hal berakhirnya. Pembuktian akan berakhir pada titik kesimpulkan tentang terbukti atau tidaknya tindak pidana sebagaimana yang di dakwakan JPU dalam surat dakwaan. 

Bagi JPU kesimpulan tersebut tersebut dimuat dalam surat tuntutannya (requisitoir), yang dapat dipertegas atau disempurnakannya dalam repliknya. Jika tidak diajukan replik, maka sejak requisitoir dibacakan dimuka sidang, maka berakhirlah pembuktian bagi JPU. Jika diajukan replik, maka berakhirlah proses pembuktian JPU setelah replik dibacakan. 

Bagi PH kesimpulan itu dimuat dalam nota pembelaannya (pleidoi), yang dapat dipertajam atau disempurnakan melalui pengajuan duplik. Jika tidak diajukan duplik, maka pembuktian PH berakhir setelah pembelaan dibacakan. Bila diajukan duplik, maka proses pembuktian PH berakhir setelah duplik dibacakan. 

Bagi majelis hakim kesimpulan tersebut akan dimuat dalam putusan akhir (vonis) yang disusun dan kemudian dibacakan / diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Setelah vonis dibacakan, berakhirlah proses pembuktian bagi majelis hakim pada tingkat pertama. Penyusunan vonis adalah proses akhir pembuktian. Proses pembuktian bagi hakim dapat berlanjut ,. Dalam hal perkara tersebut diperiksa ulang dalam tingkat banding. Namun tidak ada lagi proses pembuktian dalam tingkat kasasi, karena pada tingkat kasasi hanya memeriksa dan memutus tentang hukumnya. Dari pemahaman tentang arti pembuktian di sidang pengadilan sebagaimana yang diterangkan diatas, maka sesungguhnya kegiatan pembuktian dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu: 
Bagian kegiatan pengungkapan fakta; dan
Bagian pekerjaan penganalisisan fakta yang sekaligus penganalisisan hukum.


Bagian pembuktian yang pertama, adalah kegiatan pemeriksaan alat-alat bukti yang diajukan dimuka sidang pengadilan oleh JPU dan PH (a decharge) atau atas kebijakan majelis hakim. Proses pembuktian bagian pertama ini akan berakhir pada saat ketua majelis menyatakan (diucapkan seacara lisan) dalam sidang bahwa pemeriksaan perkara selesai (Pasal 182 ayat 1 huruf a). Dimaksudkan selesai menurut pasal ini tiada lain adalah selesai pemeriksaan untuk mengungkap atau mendapatkan fakta-fakta dari alat-alat bukti dan barang bukti yang diajukan dalam sidang (termasuk pemeriksaan setempat). 

Bagian pembuktian kedua, ialah bagian pembuktian yang berupa penganalisisan fakta-fakta yang didapat dalam persidangan dalam persidangan dan penganalisisan hukum masing-masing oleh tiga pihak tadi. Oleh JPU pembuktian dalam arti kedua ini dilakukannya dalam surat tuntutannya (requisitor) . Bagi PH pembuktiannya dilakukan dalam nota pembelaan (pleidooi), dan majelis hakim akan dibahasnya dalam putusan akhir (vonis) yang dibuatnya. Banyak kalangan praktisi mengartikan pembuktian adalah pembuktian pada bagian pembuktian yang kedua saja. Pembuktian kedua ini dapat juga disebut dengan pembuktian dalam arti luas adalah seluruh kegiatan pembuktian dalam arti yang pertama yang sekaligus / termasuk pengertian pembuktian yang kedua. 

Keseluruhan ketentuan hukum yang mengatur segala segi tentang pembuktian itulah yang disebut dengan hukum pembuktian. Sebagaimana kita ketahui bahwa proses kegiatan pembuktian yang dilaksanakan bersama oleh tiga pihak tadi, segala seginya telah ditentukan oleh UU (KUHAP) sebagai hukum umum dan bisa jadi ditambah dengan aturan khusus di luar kodifikasi, seperti pembuktian tindak pidana korupsi segi-segi pembuktian yang diatur hukumnya tersebut, antara lain:

Mengenai hal sumber apa yang dapat digunakan untuk memperoleh bukti (faktafakta)tentang objek-objek apa yang dibuktikan.mengenai hal sumber ini adalah apa yang disebut dengan alat-alat bukti (jenisnya dalam Pasal 184) dan juga barang bukti (jenisnya Pasal 39). Walaupun barang bukti adalah juga sumber bukti, tetapi kekuatan pembuktian barang bukti berbeda dengan alat bukti. Barang bukti sekedar dapat digunakan sebagi salah satu bahan membentuk alat bukti petunjuk), dan dapat digunakan untuk memperkuat pembentukan keyakinan hakim. Pengetahuan hakim tentang segala hal yang diketahui secara umum dapat dianggap sumber bukti , tetapi bukan alat bukti melainkan dapat dianggap sesuatu bukti atau fakta yang tidak memerlukan alat bukti (Pasal 184 ayat 2);Mengenai kedudukan,fungsi pihak JPU,PH dan hakim yang terlibat dalam kegiatan pembuktian.Megenai nilai kekuatan alat-alat bukti dalam pembuktian dan cara-cara menilainya;Mengenai cara bagaimana membuktikan dengan alat-alat tersebut. Dengan kata lain bagaimana alat-lat bukti tersebut digunakan dalam kegiatan pembuktian;Mengenai standar minimal pembuktian sebagai kriteria yang harus dipenuhi untuk menarik kesimpulan, pembuktian tentang terbukti ataukah tidak hal mengenai objek apa yang di buktikan.


Masyarakat subyektif (keyakinan) hakim dalam hubungannya dengan standar minimal pembuktian dalam hal hakim menarik amar putusan akhir jadi, hukum pembuktian adalah memuat dan mengatur tentang berbagai unsur pembuktian yang tersusun dan teratur saling berkaitan dan berhubungann sehingga membentuk suatu kebulatan perihal pembuktian jika dilihat dari segi keteraturan dan keterkaitannya dalam suatu kebulatan itu dapat juga disebut dengan sistem pembuktian.

Sistem Pembuktian




Apabila dilihat dari hukum pembuktian yang kita anut sekarang, sistem pembuktian dapat diberi batasan sebagai suatu kebulatan atau keseluruhan dari berbagai ketentuan perihal kegiatan pembuktian yang saling kait mengait dan berhubungan satu dangan yang lain yang tidak terpisahkan dan menjadi suatu kesatuan yang utuh. Adapun isinya sistem pembuktian terutama tentang alat-alat bukti apa yang boleh digunakan untuk membuktikan, cara bagaimana alat bukti itu boleh dipergunakan, dan nilai kekuatan dari alat-alat bukti tersebut serta standar/kriteria yang menjadi ukuran dalam mengambil kesimpulan tentang terbuktinya sesuatu (objek) yang dibuktikan. Sebagaimana yang dipahami selama ini, bahwa sistem pembuktian adalah merupakan ketentuan tentang bagaimana cara dalam membuktikan dan sandaran dalam menarik kesimpulan tentang terbuktinya apa yang dibuktikan. Pengertian sistem pembuktian yang mengandung isi yang demikian, dapat pula disebut dangan teori atau ajaran pembuktian. Ada beberapa sistem pembuktian yang telah dikenal dalam doktrin hukum acara pidana, ialah:
  1. Sistem keyakinan belaka.
  2. Sistem keyakinan dengan alasan logis.
  3. Sistem menurut berdasarkan undang-undang.
  4. Sistem menurut UU secara terbatas.
Adapun penjelasan dari point diatas :  


Sistem Keyakinan Belaka (Conviction in Time)
Menurut sistem ini, hakim dapat menyatakan telah terbukti kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan dengan didasarkan pada keyakinannya saja dan tidak perlu mempertimbangkan dari mana (alat bukti) dia memperoleh dan alasan-alasan yang Pdipergunakan serta bagaimana caranya dalam membentuk keyakinannya tersebut. Juga tidak perlu mempertimbangkan apakah keyakinan yang dibentuknya itu logis ataukah tidak logis. Bekerjanya sistem ini benar-benar bergantung pada hati nurani hakim.

Sistem ini mengandung kelemahan yang besar. Sebagaimana manusia biasa, hakim bisa salah keyakinan yang telah dibentuknya, berhubung tidak ada kriteria, alat-alat bukti tertentu yang harus dipergunakan dan syarat serta cara-cara hakim dalam membentuk keyakinannya itu. Disamping itu pada sistem ini terbuka peluang yang besar untuk terjadi praktik penegakan hukum yang sewenang-wenang, dengan bertumpu pada alasan hakim telah yakin. Walaupun mengandung kelemahan yang besar, sistem ini pernah berlaku di Indonesia pada zaman Hindia Belanda dahulu, ialah pada Pengadilan District dan Pengadilan Kabupaten ). Pengadilan District adalah pengadilan sipil dan kriminal tingkat pertama untuk orang-orang bangsa Indonesia. Berada pada tiap-tiap distrik di jawa dan Madura berdasarkan Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid de Justitie in Nederlandsch Indie (Pasal 77-80 RO). Pengadilan Kabupaten yang disebut juga dengan Regentschapsgerecht (Pasal 81-85 RO) adalah pengadilan tingkat bandingnya).

Sistem Keyakinan dengan Alasan Logis (Lacon viction in Raisonne).
Sistem ini lebih maju sedikit dari pada sistem yang pertama, walaupun kedua sistem dalam hal menarik hasil pembuktian tetap didasarkan pada keyakinan. Lebih maju, karena dalam sistem yang kedua ini dalam hal membentuk dan menggunakan keyakinann hakim untuk menarik kesimpulan tentang terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana, didasarkan pada alasan-alasan itu dengan menggunakan alat-alat bukti baik yang ada disebutkan dalam UU maupun diluar UU.

Dalam sistem ini, walaupun UU menyebut dan menyediakan alat-alat bukti, tetapi dalam hal menggunakannya dan menaruh kekuatan alat-alat bukti tersebut terserah pada pertimbangan hakim dalam membentuk keyakinannya tersebut, asalkan alasan-alasan yang dipergunakan dalam pertimbangan logis. Artinya, alasan yang digunakannya dalam hal membentuk keyakinan hakim masuk akal, artinya dapat diterima oleh akal orang pada umumnya. Sistem ini kadang disebut dengan sistem pembuktian keyakinan bebas (vrije bewijstheorie), karena dalam membentuk keyakinannya hakim bebas menggunakan alat-alat bukti dan menyebutkan alasan-alasan dari keyakinan yang diperolehnya dari alat-alat bukti tersebut.

 Sistem Pembuktian Melalui Undang-undang (Positief Wettelijk Bewijstheorie).
Ada kalanya sistem pembuktian ini disebut dengan sistem menurut undang-undang secara positif. Maksudnya, ialah dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana didasarkan semata-mata pada alat-alat bukti serta cara-cara mempergunakannya, maka hakim harus menarik kesimpulan bahwa kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana telah terbukti. Keyakinan hakim sama sekali tidak penting dan bukan menjadi bahan yang boleh dipertimbangkan dalam hal menarik kesimpulan tentang kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana. Jadi, sistem ini adalah sistem yang berlawanan dengan sistem pembuktian berdasarkan keyakinan semata-mata. Sistem pembuktian ini hanya sesuai dengan hukum acara pidana khususnya dalam hal pemeriksaan yang bersifat inkuisitor (inquisitior) seperti yang pernah dianut dahulu dibenua Eropa).
  
Sistem Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Terbatas (Negatif Wettelijk   Bewijstheorie).
Menurut sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang . Itu tidak cukup, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini haruslah didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Jadi untuk menarik kesimpulan dari kegiatan pembuktian didasarkan pada 2 (dua) hal, ialah alat-alat bukti dan keyakinan yang merupakan kesatuan tidak dipisahkan, yang tidak berdiri sendiri-sendiri. Disebut dengan sistem menurut UU, karena dalam membuktikan harus menurut ketentuan UU baik alat-alat bukti yang dipergunakan maupun cara mempergunakannya serta syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menyatakan tentang terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan. Disebut dengan terbatas, karena dalam melakukan pembuktian untuk menarik kesimpulan tentang terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana disamping dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah menurut UU juga dibatasi/diperlukan pula keyakinan hakim. Artinya, bila ketiadaan keyakinan hakim – tidak boleh menyatakan sesuatu (objek) yang dibuktikan sebagai terbukti, walaupun alat bukti yang dipergunakan talah memenuhi syarat minimal bukti.

Hukum pembuktian dalam hukum acara pidana kita sejak berlakunya het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dahulu dan kini KUHAP adalah menganut sistem ini secara konsekuen. Pasal 294 ayat (1) HIR merumuskan bahwa:
Tidak seorangpun boleh dikenakan hukuman, selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang boleh dihukum dan bahwa orang yang dituduh itulah yang salah tentang perbuatan itu”.
 
Intinya, sistem pembuktian dalam Pasal 294 HIR itu diadopsi dengan penyempurnaan kedalam Pasal 183 KUHAP yang rumusanya ialah:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melaukannya”.

Rumusan Pasal 183 KUHAP dapat dinilai lebih sempurna, karena telah menentukan batas yang lebih tegas bagi hakim dalam usaha membuktikan kesalahan terdakwa untuk menjatuhkan pidana. Lebih tegas karena ditentukan batas minimun pembuktian, yakni harus menggunakan setidak-tidaknya dua alat bukti yang sah dari yang disebutkan dalam UU. Sedangkan dalam Pasal 294 ayat (2) HIR syarat setidak-tidaknya dengan (dua) alat bukti sebagaimana dalam Pasal 183 KUHAP tidak disebutkan secara tegas. Hal ini menandakan bahwa sistem pembuktian negatif dalam KUHAP lebih baik dan lebih menjamin kepastian hukum.

Walupun Pasal 294 ayat (1) HIR tidak secara tegas menentukan minimal dua alat bukti yang harus dipergunakan hakim, jiwa dari ketentuan tidak dapat dipergunakannya satu alat bukti juga tercermin dari Pasal 308 HIR, bahwa pengakuan terdakwa saja tanpa adanya fakta-fakta lain pendukungannya dalam sidang, tidak cukup nuntuk dijadikan bukti, Fakta-fakta pendukung yang diperoleh dalam sidang tentu saja diperoleh dari alat bukti selain pengakuan.

Dalam sistem menurut undang-undang secara terbatas atau disebut juga dengan sistem undang-undang secara negatif sebagai intinya, yang dirumuskan dalam Pasal 183, dapatlah disimpulkan pokok-pokoknya, ialah:
  1. Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika memenuhi syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana;
  2. Standar / syarat tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana.
Penjelasan dari point di atas :  


Tujuan Akhir Pembuktian Untuk Memutus Perkara Pidana, Yang Jika Memenuhi Syarat Pembuktian Dapat Menjatuhkan Pidana.
Sesungguhnya, pembuktian itu ditujukan untuk memutus suatu perkara suatu perkara in casu perkara pidana, dan bukan semata-mata menjatuhkan pidana. Sebab, untuk menjatuhkan pidana masih diperlukan lagi syarat terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana. Jika setelah kegiatan pembuktian dijalankan, dan berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah majelis hakim mendapatkan keyakinan: (1) terbukti terjadinya tindak pidana; (2) terdakwa melakukannya; dan (3) keyakinan terdakwa bersalah (tanpa terbukti adanya peniadaan pidana selama persidanga), maka terdakwa dijatuhi pidana (veroordeling), sebaliknya, jika menurut keyakinan hakim tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti, maka akan dijatuhi pembebasan (vrijspraak). Apabila tindak pidana yang didakwakan terbukti dilakukan terdakwa, tetapi dalam persidangan terbukti adanya dasar alasan yang meniadakan pidana baik didalam UU maupun diluar UU, maka tidak di bebaskan dan juga tidak dipidana melainkan dijatuhkan amar putusan pelepasan dari tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging).

Pada dasarnya, kegiatan pembuktian dilakukan untuk menjatuhkan putusan in casu menarik amar putusan oleh majelis hakim. Pembuktian dilakukan terlebih dahulu dalam usaha mencapai derajat setinggi-tingginya dalam putusan hakim. Jadi, bukan ditujukan untuk menjatuhkan pidana saja. Norma Pasal 183 ini adalah menentukan syarat yang harus dipenuhi dalam hal pembuktian untuk menjatuhkan pidana tersebut

Standar / Syarat Tentang Hasil Pembuktian Untuk Menjatuhkan Pidana.
Sesungguhnya ada 2 (dua) syarat untuk mencapai suatu hasil pembuktian agar dapat menjatuhkan pidana yang saling berhubungan dan tidak terpisahkan, tetapi dibedakan, ialah:
  1. Harus menggunakan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah. Maksud alat bukti yang sah adalah alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.
  2. Dengan menggunakan sekurang-kurangnya dua alat bukti hakim memperoleh keyakinan. Ada tiga macam / tingkat keyakinan yang harus didapatkan hakim dari pembuktian dengan menggunakan minimal dua alat bukti sah tersebut. Hakim yakni tindak pidana benar telah terwujud, yakni terdakwa melakukannya, dan dalam hal itu hakim yakni terdakwa bersalah.
Mengenai syarat yang pertama, hal sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, bukanlah berarti jenisnya yang harus dua, seperti 1 orang saksi ( keterangan saksi ) dan lainya keterangan terdakwa atau surat, tetapi yang dimaksud sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah, adalah bisa saja terdiri dari 2 alat bukti yang sama jenisnya, misalnya saksi A dan saksi B yang menerangkan hal yang sama. Mengenai syarat kedua: keyakinan hakim. Keyakinan hakim haruslah dibentuk atas dasar fakta-fakta hukum yang diperoleh dari minimal dua alat bukti yang sah. Sebagaimana diatas telah diterangkan, bahwa ada tiga keyakinan hakim yang harus dibentuk atas dasar mempergunakan minimal dua alat bukti yang sah tadi. Pertama, keyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh JPU. Kedua, keyakinan bahwa terdakwa benar melakukannya . Ketiga, hakim yakni bahwa benar terdakwa dalam melakukan tindak pidana itu dapat dipersalahkan kepadanya.

Tiga syarat keyakinan hakim yang dibentuk itu sifatnya bertingkat tidak dapat dipisahkan suatu kebulatan, tetapi dapat dibedakan. Keyakinan pertama adalah keyakinan tentang terjadinya tindak pidana, artinya keyakinan terhadap sesuatu kejadian yang objektif. Fakta-fakta yang didapat dari dua alat bukti itu (suatu yang objektif) yang menbentuk keyakinan hakim bahwa tindak pidana yang didakwakan benar-benar telah terjadi. Dalam praktik disebut bahwa tindak pidana yang didakwakan JPU telah terbukti secara sah dan meyakinkan. Secara sah maksudnya telah menggunakan alat-alat bukti yang memenuhi syarat minimal yakni dari dua atau lebih alat bukti yang sah. Keyakinan tentang telah terbukti tindak pidana sebagaimana yang didakwakan JPU tidaklah cukup untuk menjatuhkan pidana pada terdakwa, tetapi diperlukan pula dua keyakinan berikutnya.

Keyakinan yang kedua tentang terdakwa yang melakukannya, adalah juga keyakinan terhadap sesuatu yang objektif. Dua keyakinan itu dapat disebut sebagai hal yang objektif yang disubyektif yang didapatkan hakim atas sesuatu yang objektif. Namun, mengenai keyakinan hakim yang ketiga, bisa jadi berlainan dengan keyakinan yang pertama dan kedua. Pada keyakinan hakim yang ketiga, yakni keyakinan tentang terdakwa bersalah dalam hal melakukan tindak pidana; bisa terjadi terhadap dua hal/unsur, ialah pertama hal yang bersifat objektif dan kedua hal/unsur yang bersifat subjektif. Keyakinan tentang hal yang objektif adalah keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa yang dibentuk atas dasar hal-hal yang bersifat objektif. Hal-hal yang bersifat objektif ini adalah tiadanya alasan pembenar dalam melakukan tindak pidana. Dengan tidak adanya alasan pembenar pada diri terdakwa. Maksudnya, ialah ketiga melakukan tindak pidana pada diri si pembuat tidak terdapat alasan pemaaf (fait d excuse). Bisa jadi terdakwa benar mealukakan tindak pidana dan hakim yakin pula tentang itu, tetapi setelah mendapatkan fakta-fakta yang menyangkut keadaan jiwa si pembuat ic terdakwa dalam persidangan, hakim tidak terbentuk keyakinannya tentang kesalahan terdakwa melaukan tindak pidana tersebut. Hal semacam ini bisa terjadi misalnya dalam putusan Mahkamah Agung (No. 680/Pid/1982-7-1983) yang membebaskan terdakwa dengan pertimbangan hukum: “bahwa dalam peristiwa itu tidak terbukti unsur melawan hukum (penulis: sesungguhnya unsur maksud memiliki dengan melawan hukum), sebab pada saat terdakwa mengambil barang-barang dari kantor, dia beranggapan bahwa barang-barang yang diambil terdakwa adalah milik suaminya. Seorang ahliwaris, terdakwa berhak mengambil barang-barang milik tersebut).

Tiga tingkat / macam keyakinan hakim tersebut mutlak sifatnya. Tidak terbentuk salah satu keyakinan saja, misalnya dari dua alat bukti yang sah hakim yakni tindak pidana benar telah terjadi, dan keyakinan kedua benar terdakwa yang melakukannya. Akan tetapi, apabila keyakinan pada tingkat yang ketiga tidak dipenuhi, artinya hakim tidak yakin terdakwa bersalah dalam melakukan tindak pidana yang didakwakan, baik karena adanya fakta-fakta hukum yang masuk pada alasan pemaaf maupun alasan pembenar, baik yang ada dalam UU maupun diluar UU seperti tiadanya kesalahan atau hapusnya sifat melawan hukum perbuatan secara materiel (dalam fungsinya yang negatif), maka pidana tidak akan dijatuhkan. Melainkan menjatuhkan pelepasan dari tuntutan hukum.

Segala sesuatu mengenai tiga tingkat keyakinan hakim tadi adalah masuk kedalam hukum pembuktian. Walaupun sebenarnya masih dapat dipandang sebagai alasan untuk menjatuhkan pidana, karena dari norma rumusan Pasal 183 ayat (1) dapat menimbulkan penafsiran yang demikian. Khususnya dari kalimat “tidak boleh menjatuhkan pidana kecuali apabila ...”. Maka tidak salah apabila norma Pasal 183 ayat (1) dipandang sebagai syarat-syarat untuk menjatuhkan pidana.

Keyakinan hakim masuk ruang lingkup kegiatan pembuktian dapat diterima apabila kegiatan pembuktian tidak dipikrkan dan dipandang semata-mata sebagai sesuatu pekerjaan untuk membuktikan saja, tetapi untuk membuktikan dalam usaha mencapai tujuan akhir penyelesaian perkara pidana yakni menarik amar putusan oleh hakim. Artinya, menarik keyakinan adalah bagian dari proses untuk mengambil kesimpulan tentang terbukti ataukah tidaknya tindak pidana yang didakwakan JPU. Dilanjutkan menarik kesimpulan tentang keyakinan terdakwa ataukah bukan terdakwa yang melakukannya, dan kemudian menarik kesimpulan tentang keyakinan tentang terdakwa bersalah ataukah tidak dalam hal itu. Toh menurut sistem pembuktian menurut UU secara negatif (negatif yang terbatas) ini hakim tidak boleh menyatakan sesuatu terbukti apabila tida disertai keyakinan tentang terbukti objek apa yang dibuktikan itu in casu tingkat keyakinan tadi. Artinya atas fakta-fakta hukum dari minimal dua alat bukti dalam persidangan – tidak boleh menarik kesimpulan sebagai terbukti, bila penarikan kesimpulan itu tidak melalui penilaian subyektif hakim terlebih dulu yang namanya keyakinan tersebut.

Oleh karena itu, mengenai hal keyakinan hakim dalam sistem pembuktian yang kita anut sebagaimana bunyi Pasal 183 ayat (1) janganlah dipikir dan dipandang semata-mata sebagai kegiatan membuktikan sesuatu belaka, sebab jika dianggap bukan lagi masuk pada ruang lingkup pemidanaan, khususnya sebagaimana sebagai syarat-syarat untuk menjatuhkan pidana.  


Macam – macam Alat Bukti dan Kekuatan Alat-alat Bukti.
Menganai jenis-jenis alat bukti yang boleh dipergunakan dan kekuatan pembuktian serta cara bagaimana dipergunakannya alat-alat bukti tersebut untuk membuktikan di sidang pengadilan, adalah hal paling pokok dalam hukum pembuktian dengan sistem negatif. Ketiga hal pokok itu telah tertuang dalam pasal-pasal dalam bagian keempat KUHAP. Mengenai macam-macam alat bukti dimuat dalam Pasal 184. Sedangkan mengenai cara mempergunakan alat-alat bukti dan kekuatan pembuktian alat-alat bukti dimuat dalam Pasal 185 – 189 KUHAP.
Mengenai macam alat bukti yang sah dan boleh dipergunakan untuk membuktikan yang telah ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, ialah:
  1. Keterangan saksi;
  2. Keterangan ahli;
  3. Surat;
  4. Petunjuk;
  5. Keterangan terdakwa;
Jika dibandingkan dengan alat-alat bukti dalam Pasal 295 HIR, maka alat-alat bukti dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP ada perbedaan. Perbedaan itu ialah:
  1. Alat bukti pengakuan menurut HIR, yang dalam KUHAP diperluas menjadi keterangan terdakwa. Pengertian keterangan terdakwa lebih luas dari sekedar pengakuan.
  2. Dalam KUHAP ditambahkan, alat bukti baru yang dulu dalam HIR bukan merupakan alat bukti, yakni keterangan ahli.
  1. Alat Bukti Keterangan Saksi 
  2. Pengertian saksi dan Keterangan Saksi.
KUHAP telah memberikan batasan pengertian saksi, ialah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 angka 26). Sedangkan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya (Pasal 1 angka 27).
Dari batasan UU tentang saksi dan keterangan saksi tersebut, dapatlah ditarik 3 kesimpulan, yakni:
  1. Bahwa tujuan saksi memberikan keterangan ialah untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan, Ketentuan ini juga mengandung pengertian bahwa saksi diperlukan dan memberikan keterangannya dalam 2 tingkat yakni ditingkat penyidikan dan tingkat penuntutan disidang pengadilan.
  2. Bahwa isi apa yang diterangkan, adalah segala sesuatu yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Keterangan mengenai segala sesuatu yang sumbernya diluar 3 sumber tadi, tidaklah mempunyai nilai atau kekuatan pembuktian. Ketentuan ini menjadi suatu prinsip pembuktian dengan menggunakan alat bukti keterangan saksi.
Bahwa keterangan saksi haruslah disertai alasan dari sebab apa ia mengetahui tentang sesuatu yang ia terangkan. Artinya, isinya keterangan baru berharga dan bernilai pembuktian apabila setelah memberikan keterangan tentang sebab-sebab dari pengetahuannya tersebut. Hal ini pun merupakan prinsip umum alat bukti keterangan saksi dalam hal pembuktian.



Syarat Sah dan Berharga Keterangan Saksi
Di dalam batasan pengertian saksi dan keterangan saksi (Pasal 1 angka 26 dan 27) yang diatas telah dibicarakan, terdapat mengenai syarat, yakni: apa yang diterangkan adalah mengenai hal yang dilihat, didengar dan dialami saksi sendiri. Apabila syarat itu tidak dipenuhi maka keterangan saksi tersebut tidak bernilai pembuktian, karena bukan sebagai alat bukti yang sah. Oleh bukti karena itu, tidak dapat dipertimbangkan sebagai alat bukti perkara pidana. Tentu saja tidak dapat digunakan untuk membentuk keyakinan hakim.

Alat-alat bukti yang dapat digunakan sebagai bahan membentuk keyakinan adalah kalau alat bukti tersebut sah. Sah artinya memenuhi syarat – syarat sahnya menurut UU, seperti sahnya alat bukti keterangan saksi menurut ketentuan Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP tersebut. Keyakinan yang dibentuk dari alat-alat bukti, ialah keyakinan telah terbukti terdakwa bersalah telah melakukannya. Disini akan diterangkan lagi secara lebih lengkap. Disamping itu, masih ada beberapa ketentuan yang menyangkut ini akan disebutkan. Syarat keterangan saksi agar keterangannya itu menjadi sah dan berharga, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu dasar pertimbangan hakim dalam hal membentuk keyakinannya, dapat terletak pada beberapa hal, ialah:
  1. Hal kualitas pribadi saksi;
  2. Hal apa yang diterangkan saksi;
  3. Hal sebab apa saksi mengetahui tentang sesuatu yang ia terangkan;
  4. Syarat sumpah atau janji
  5. Syarat mengenai adanya hubungan antara isi keterangan saksi dengan isi keterangan saksi lain atau isi alat bukti.
Syarat keterangan saksi yang dimaksud diatas ini adalah syarat keterangan saksi yang diberikan dimuka sidang pengadilan, buka saat memberikan keterangan pada tahap penyidikan. Keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah juga terletak pada keterangan tersebut diberikan dimuka persidangan. Namun , bagi penyidik syarat-syarat mengenai beberapa hal tersebut diatas terutama syarat yang relevan, Misalnya, syarat mengenai kualitas pribadi saksi haruslah diperhatikan, agar menetapkan seorang saksi dan pekerjaan memberkasnya dalam berkas perkara pidana tidak menjadi sia-sia kelak disidang pengadilan.


Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Menilai Keterangan Saksi.
Disampingkan pekerjaan menggali fakta-fakta dari alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, ada pekerjaan penting lainnya dalam kegiatan pembuktian, yaitu menilai terhadap apa yang dapat dari pemeriksaan alat bukti. Demikian juga apa yang diperoleh dari pemriksaan saksi, pada saatnya akan dinilai, baik oleh JPU yang akan dibahas dalam requisitoirnya, baik oleh PH yang akan dibahas dalam pleidooinya hakim sebagai pemutus akan menilainya dalam pertimbangan hukum vonis yang dibuatnya. Ada beberapa hal yang amat perlu diperhatikan dalam menilai kekuatan keterangan saksi dalam persidangan. Hal-hal ini dapat dianggap sebagai standar penilaian. Dalam menilai keterangan saksi, disamping harus memperhatikan tentang syarat sah dan berharganya keterangan saksi sebagaimana yang telah dibicarakan diatas, juga harus memperhatikan standar penilaian keterangan saksi, Hal-hal yang harus diperhatikan sebagaimana yang ditentukan Pasal 185 ayat (6, ialah:
  1. Persusaian antara keterangan saksi satu dengan saksi lainnya;
  2. Persusaian keterangan saksi dengan alat bukti lainya;
  3. Alasan saksi memberikan keterangan tertentu;
  4. Cara hidup dan kesusilaan saksi;
Disamping itu, ada hal lain yang juga perlu diperhatikan dalam menilai keterangan saksi, ialah:
  1. Tanggapan terdakwa terhadap keterangan saksi (Pasal 164 ayat 1), dan
  2. Persusaian keterangan saksi dipersidangan dengan keterangannya di tingkat penyidikan (Pasal 163).
  1. Alat Bukti Keterangan Ahli.
  1. Pengertian Keterangan Ahli.
Dalam praktik alat bukti ini disebut alat bukti saksi ahli. Tentu saja pemakaian istilah saksi mengandung pengertian yang berbeda dengan ahli atau keterangan ahli. Bahwa isi keterangan yang disampaikan saksi adalah segala sesuatu yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri (Pasal 1 angka 26). Pada keterangan saksi haruslah diberikan alasan dari sebab pengetahuanya itu ( Pasal 1 angka 27). Sedangkan seorang ahli memberikan keterangan bukan mengenai segala hal yanjg dilihat, didengar dan dialaminya sendiri, tetapi mengenai hal-hal yang menjadi atau dibidang keahliannya yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa. Keterangan ahli tidak perlu diperkuat dengan alasan sebab keahliannya atau pengetahuannya sebagaimana pada keterangan saksi. Apa yang diterangkan ahli adalah suatu penghargaan dari kenyataan dan atau kesimpulan atas penghargaan itu) berdasarkan keahlian seorang ahli.

Disamping itu ada perbedaan lain, apabila keterangan saksi diberikan pada tingkat penyidikan, maka sebelum memberikan keterangan dimuka penyidik ahli harus mengucapakan sumpah atau janji terlebih dahulu. Saksi yang memberikan keterangan ditingkat penyidikan dapat bersumpah atau berjanji apabila ada keadaan khusus sebagai alasan yang dapat diterima penyidik bahwa ia tidak dapat hadir di sidang pengadilan (Pasal 116).

Syarat –syarat Keterangan Ahli
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemriksaan (Pasal 1 angka 28). Apa isi yang harus diterangkan ahli, serta syarat apa yang harus dipenuhi agar keterangan ahli mempunyai nilai mempunyai nilai tidaklah diatur dalam KUHAP, tetapi dapat dipikirkan bahwa berdasarkan Pasal 2 syarat dari keterangan seorang ahli, ialah:
  1. Bahwa apa yang diterangkan haruslah mengenai segala sesuatu yang masuk dalam ruang lingkup keahliannya.
  2. Bahwa yang diterangkan mengenai keahliannya itu adalah berhubungan erat dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.
Karena merupakan syarat, maka apabila ada keterangan seorang ahli yang tidak memenuhi salah satu syarat atau kedua syarat, maka keterangan ahli itu tidaklah berharga dan harus diabaikan. Ketentuan alat bukti keterangan ahli secara khusus adalah terletak pada 2 syarat tersebut, tetapi secara umum juga terletak pada syarat-syarat umum pembuktian dari alat-alat bukti lain terutama keterangan saksi (Pasal 179 ayat 2) syarat umum dari kekuatan alat bukti termasuk keterangan saksi, yaitu:
  1. Harus didukung atau bersusaian dengan fakta-fakta yang didapat dari alat bukti lain. Sesuai dengan ketentuan Pasal 183 jo Pasal 185 ayat (2), maka satu-satunya alat bukti – keterangan ahli tidaklah dapat digunakan sebagai dasar bentuk keyakinan hakim. Kekuatan bukti keterangan ahli bukanlah sebagai tambahan bukti seperti saksi yang tidak disumpah sebagaimana saksi keluarga menurut Pasal 185 ayat 7 atau saksi anak dan saksi yang sakit ingatan (Pasal 171). Mengapa demikian? Karena keterangan ahli adalah merupakan alat bukti tersendiri seperti juga alat-alat bukti yang lain yang disebutkan dalam Pasal 184. Nilai kekuatan keterangan ahli sama seperti alat bukti yang lain adalah mengandung kekuatan bukti bebas, bebas dalam menilainya, bukan mengandung nilai sempurna seperti akta otentik bagi para pihak dalam perkara perdata (Pasal 1868 BW).
  2. Keterangan ahli harus diatas sumpah sama dengan alat bukti keterangan saksi (Pasal 60 ayat 4 jo 179 ayat 2). Keterangan ahli yang diberikan dimuka sidang tetap wajib disumpah, walaupun seorang ahli telah disumpah ketika ahli akan memberikan keterangan ditingkat penyidikan berdasarkan Pasal 120 ayat (2). Hal ini wajar karena menurut Pasal 185 keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan. Oleh karena itu, sumpah ditingkat penyidikan adalah ditujukan hanya untuk meletakkan kebenaran keterangan ahli yang diberikan ditingkat penyidikan saja.
Walaupun HIR juga telah mengenal keterangan ahli, fungsi dan cara pengunaannya tidak sama dengan keterangan ahli menurut KUHAP. Dalam HIR keterangan ahli bukanlah sebagai alat bukti, karena tidak disebut dalam Pasal 295, sedangkan menurut KUHAP keterangan ahli adalah sebagai alat bukti, karena disebut dalam Pasal 184, pada urutan kedua. Fungsi keterangan ahli menurut Pasal 306 HIR dapat digunakan hanya untuk memberikan keterangan pada hakim. Hakim boleh mengambilnya sebagai pandapatnya sendiri dan boleh juga tidak. Akan tetapi, kini didalam KUHAP fungsi keterangan ahli menjadi lain. Kedudukan keterangan ahli sebagai alat bukti yang lain. Peningkatan fungsi dan kedudukan keterangan ahli menjadi alat bukti dapat diterima. Mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang sangat pesat yang tidak mungkin hakim dapat menguasai semua bidang ilmu dan teknologi tersebut, sehingga wajar apabila sekarang hakim percaya dengan keterangan ahli.

Tidak seperti keterangan saksi, keterangan ahli dibedakan menjadi 2 (dua) macam, ialah: (1) keterangan ahli secara lisan di muka sidang, dan (2) keterangan ahli secara tertulis diluar sidang. Keterangan ahli tertulis ini dituangkan dalam suatu surat yang menjadi alat bukti surat, seperti apa yang disebut visum et repertum (VER) yang diberikan pada tingkat penyidikan atas permintaan penyidik (Pasal 187 huruf c).


Siapakah yang Disebut ahli?
Siapakah atau syarat apakah yang harus dimiliki oleh seseorang sehingga ia menjadi seorang ahli. Pasal 1 angka 28 sekedar menyebut orang yang memiliki keahlian khusus, tetapi apa kriterianya tidak dijelaskan. Memang, ada beberapa Pasal yang dalam rumusannya menyebut kualifikasi keahlian khusus, seperti : ahli yang mempunyai keahlian tentang surat dan tulisan palsu (Pasal 132); ahli kedokteran kehakiman atau dokter (Pasal 133 ayat 1, Pasal 179 ayat 1), tetapi penyebutan itu bukanlah mengandung syarat-syarat seorang ahli, melainkan menyebut bidang-bidang keahlian tertentu. Sudah barang tentu masih banyak bidang keahlian, bahkan tidak terbatas banyaknya keahlian diluar bidang-bidang kehlian yang telah disebut dalal Pasal-pasal tersebut.

Dari sudut sifat isi keterangan yang diberikan ahli, maka ahli dapat dibedakan antara:
  1. Ahli yang menerangkan tentang hasil pemeriksaan sesuatu yang telah dilakukannya berdasarkan keahlian khusus untuk itu. Misalnya, seorang dokter ahli porensik yang memberikan keterangan ahli disidang pengadilan tentang pneyebab kematian setelah dokter tersebut melakukan bedah mayat (otopsi). Atau seorang akuntan memberikan keterangan disidang pengadilan tentang hasil audit yang dilakukannya atas keuangan suatu instansi pemerintah.
  2. Ahli yang menerangkan semata-mata tentang keahlian khusus mengenai sesuatu hal yang berhubungan erat dengan perkara pidana yang sedang di periksa tanpa melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Misalnya, ahli dibidang perakit bom yang menerangkan di dalam sidang pengadilan tentang cara merakit bom. Bahkan, dalm praktik, seorang ahli hukum bidang keahlian/konsentrasi khusus acap kali digunakan dan mereka di sebut seirang ahli.
Seorang ahli tidak selalu di tentukan oleh adanya pendidikan formal khususuntuk bidang keahliannya seperti ahli kedokteran forensik, tetapi pada pengalaman dan atau bidang pekerjaan tertentu yang di tekuni selama waktu yang panjang, yang menurut akal sangat wajar menjadi ahli dalam bidang khusus tersebut. Misalnya, keahlian dibidang kunci, pertukangan dll. Hakimlah yang menetukan seorang sebagai ahli atau bukan melalui pertimbangan hukumnya. Dalam praktik acapkali JPU atau penasihat hukum menghadapkan orang yang disebut sebagi ahli kesidang pengadilan. Tidak jarang pula terjadi perdebatan antara jaksa dengan penasihat hukum tentang status orang yang dihadapan itu. Dalam menghadapi perdepatan mengenai ahli dan buka ahli hakimlah pada akhirnya yang menentukan orang itu ahli atau bukan ahli. Berdasarkan Pasal 160 ayat (1c) sewajarnya hakim memeriksa saja orang yang dihadapkan, nanti dipertimbangkan dalam putusan apakah seseorang itu ahli atau bukan. Sewajarnya tidak meluluh melihat ijazah atau pendidikan formal. Pada kenyatannya, pendidikan formal atau gelar pendidikan formal tidak selamanya cukup untuk dapat digunakan sebagai ukuran tentang keilmuan,atau keahlian yang dimiliki sesorang, melainkan harus ditambah bahwa bidang pendidikan formalnya tadi kemudian telah ditekuninya sebagai bidang pekerjaannya dalam waktu yang panjang. Kadang itu pun tidak cukup. Oleh karena itu, sebaliknya hakim tidak semata-mata mendasarkan pertimbangan pada gelar atau pendidikan formal untuk menetapkan seorang ahli melainkan hakim perlu meneliti apakah kompetensi orang itu pada kenyataannya diakui oleh masyarakat secara luas ataukah tidak. Atau setidaknya mendapat penunujukan dari lembaga resmi yang sah yang berhubungan dengan bidang keahlian orang itu, misalnya, dari instansi yang bersangkutan.
Alat Bukti Surat  


Syarat Surat Agar Menjadi Alat Bukti Yang Sah.
KUHAP sedikit sekali mengatur tentang alat bukti surat. Hanya dua pasal, yakni Pasal 184 dan secara khusus Pasal 187. HIR juga demikian, secara khusus diatur dalam tiga pasal saja, yakni Pasal 304, 305, 306. Walaupun hanya 3 pasal yang isinya hampir sama dengan Pasal 187 KUHAP, dalam Pasal 304 HIR, disebutkan bahwa aturan tentang nilai kekeuatan dari alat bukti surat-surat pada umumnya dan surat-surat resmi (openbaar) dalam hukum acara perdata harus dituntut dalam hukum acara pidana. Dengan demikian, mengenai surat-surat pada umumnya (maksudnya di bawah tangan) dan surat-surat resmi (akta otentik) mengenai nilai pembuktiannya dalam perkara pidana harus menurut hukum acara perdata. Saya ketentuan seperti Pasal 304 HIR ini, tidak ada dalam KUHAP. Dulu ketika ketika HIR masih berlaku, berdasarkan Pasal 304 ini praktik hukum perkara pidana mengenai penggunaan dan penilaian alat bukti surat dapat meniru pembuktian dengan alat bukti surat dalam hukum acara perdata. Artinya, pembuktian dengan surat dalam hukum acara perdata berlaku pula pada pembuktian dengan surat dalam perkara pidana, tetapi sekarang setelah berlakunya KUHAP, sudah tidak lagi. Segala sesuatunya diserahkan pada kebijakan hakim, dengan alasan bahwa alat-alat bukti dalam perkara pidana adalah merupakan alat bukti bebas. Tidak ada sesuatu alat bukti pun yang mengikat hakim, termasuk akta otentik. Penilaiannya diserahkan pada hakim.

Berdasarkan sistem pembuktian yang berbeda, apapun alat buktinya seperti akta otentik yang menurut hukum acara perdata adalah alat bukti sempurna, tetapi dalam hukum pembuktian perkara pidana satu akta otentik saja akan lumpuh kegiatan buktinya apabila tidak ditunjang oleh alat bukti lain, walaupun hakim yakni kebenaran dari akta otentik tersebut, karena dalam hukum pembuktian perkara pidana diikat lagi dengan beberapa ketentuan ketentuan yakni:
  1. Adanya syarat minimal pembuktian. Satu alat bukti saja tidaklah cukup dalam perkara pidana, melainkan harus minimal dua alat bukti (Pasal 184 jo 185 ayat 2);
  2. Diperlukan adanya keyakinan hakim. Dari minimal dua alat bukti terbentuklah keyakinan tentang 3 hal (terjadi tindak pidana terdakwa melakukannya, dan ia dapat dipersalahkan atas perbuatannya itu (Pasal 183).  
Macam Surat Sebagai Alat Bukti.
Menurut Pasal 187 ada 4 (empat) surat yang dapat dipergunakan sebagai alat bukti. Tiga surat harus dibuat diatas sumpah atau dikuatkan dengan sumpah (Pasal 187 huruf a,b,c), sedangkan surat yang ke empat adalah surat dibawah tangan (Pasal 187 huruf d).

Tiga jenis huruf yang dibuat diatas sumpah atau dikaitkan dengan sumpah tersebut dengan sumpah tersebut adalah:
  1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi dan dibuat oleh pejabat umum yang berwewenang atau yang dibuat dihadapannya, yang mememuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar , dilihat, atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu.
  2. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan diperuntuhkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; surat keterangan dari seseorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan.
Adapunyang dimaksud huruf a adalah surat mengandung unsur sebagai berikut;
  1. diatas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah pejabat yang membuatnya;
  2. Dibuat oleh pejabat umum atau dibuat dihadapannya;
  3. Surat dalam bentuk resmi;
  4. Isi suratnya adalah keterangan mengenai kejadian atau keadaan yang didengar,dilihat atau yang dialaminya sendiri, yang disertai dengan alasan yang jelas dan tegas dalam surat itu.
Suatu yang dimaksud huruf a ini misalnya, akta perjanjian oleh para pihak yang dibuat oleh atau dihadapan notaris berupa partijakte. Juga akta-akta yang dibuat oleh pejabat umum itu sendiri (akte ambtelijk ) seperti berita acara penyitaan dibuat oleh penyidik.

Surat yang disebut pada huruf b, adalah surat-surat yang dibuat oleh pejabat umum mengenai hal-hal yang masuk bidang tata laksana administrasi yang menjadi tugas dari pejabat umum tersebut. Tujuan dibuatnya surat ini untuk pembuktian mengenai suatu hal atau suatu keadaan. Misalnya, untuk membuktikan adanya surat perkawinan disebut surat nikah untuk membuktian adanya kematian disebut akta kematian, untuk membuktikan sebagai penduduk disebut dengan kartu tanda penduduk (KTP).

Surat yang disebut pada huruf c adalah surat yang dibuat seorang ahli yang isi berupa pendapat mengenai hal tertentu dalm bidang keahliaanya itu yang hal tersebut berhubungan dengan suatu perkara pidana. Surat ini dibuat memenuhi permintaan secara resmi. Contohnya surat visum et repertum yang dibuat oleh dokter untuk memenuhi permintaan penyidik dalam upaya mengumpulkan alat bukti suatu perkara penganiayaan atau pembunuhan.

Sedangkan surat lain yang dimaksud huruf d, sebenarnya bukan surat yang dibuat oleh pejabat umum atau dihadapannya, tetapi surat biasa, yang bukan merupakan akta yang dimaksud huruf a,b dan c.

Alat Bukti Petunjuk
Apabila kita bandingkan dengan 4 (empat) alat-alat bukti yang lain daam Pasal 184, maka alat bukti petunjuk ini bukanlah suatu alat bukti yang bulat dan berdiri sendiri, melainkan suatu alat bukti bentukan hakim. Hal itu tampak dari batasannya dalam ketentuan Pasal 188 ayat (1) yang menyatakan bahwa “petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persusaiannya, baik anatara yang suatu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”.

Karena keberadaan dan bekerjanya alat bukti petunjuk ini cenderung merupakan penilaian terhadap hubungan atau persusaian antara isi dari beberapa alat bukti lainnya, dan bukanlah alat bukti yang berdiri sendiri, maka dapat dimaklumi apabila sebagian ahli manaruh sangat keberatan atas keberadaannya dan menjadi bagian dalam hukum pembuktian perkara pidana. Karena alat bukti petunjuk ini adalah berupa pemikiran atau pendapat hakim yang dibentuk dari hubungan atau persusaian alat bukti yang ada dan dipergunakan dalam sidang, maka sifat subyektivitas hakim lebih dominan. Oleh karena itu Pasal 188 ayat (3) mengingatkan hakim agar dalam menilai kekuatan alat bukti petunjuk dalam setiap keadaan tertentu harus dilakukan dengan arif dan bijaksana, setelah hakim memeriksa dengan cermat dan saksama yang didasarkan hati nuraninya.

Apabila kita membaca dengan teliti mengenai rumusan tentang pengertian alat bukti petunjuk dalam Pasal 188 ayat (1) dan ayat (2), maka unsur atau syarat alat bukti petunjuk adalah:
  1. Unsur pertama, adanya perbuatan, kejadian, keadaan yang bersesuaian;
  2. Unsur kedua, ada 2 (dua) persusaian, ialah;Bersusaian antara masing-masing perbuatan, kejadian dan keadaan satu dengan yang lain, maupun.Bersusaian antara perbuatan, kejadian, dan atau keadaan dengan tindak pidana yang didakwakan;
           Unsur ketiga, dengan adanya persusaian yang dengan demikian itu menandakan (menjadi suatu tanda) atau menunjukkan adanya 2 (dua) in casu kejadian, ialah:
  1. Kedua petunjuk hanya dapat dibentuk melalui 3 alat bukti, yaitu keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.
  2. Adanya Perbuatan , Kejadian dan Keadaan.
Bahwa apa yang dimaksud dengan perbuatan, kejadian atau keadaan adalah fakta-fakta yang menunjukkan tentang terjadinya tindak pidana, menunjukkan terdakwa yang melakukannya dan menunjukkan terdakwa bersalah karena melakukan tindak pidana tersebut. Fakta-fakta inilah dan ditambah alat bukti lainnya lagi, dapat dipergunakan oleh hakim dalam hal membentuk keyakinannya.

Sedangkan sumber diperolehnya tiga fakta tentang perbuatan, kejadian, keadaan itu menurut ketentuan Pasal 188 ayat (2) adalah harus didapat dari 3 (tiga) alat bukti terdakwa. Menurut hemat penulis didapat dari dua alat bukti baik jenis yang sama maupun jenis yang berlainan diantara tiga alat bukti tersebut sudalah cukup.

Kapankah alat bukti petunjuk ini diperlukan? Tentu saja bukti petunjuk ini baru penting untuk dipergunakan dalam hal apabila dari alat-alat bukti yang ada belum dapat membentuk keyakinan hakim tentang terjadinya tindak pidana dan keyakinan terdakwa bersalah melakukannya. Haklim ini belum dapat membentuk keyakinan karena dua kemungkinan, yaitu:
  1. Kemungkinan pertama, belum memenuhi syarat minimal pembuktian yakni sekurang-kurangnya dua alat bukti. Bisa saja ada dua atau tiga alat bukti, tetapi dua atau lebih alat bukti itu menghasilkan masing-masing fakta yang berdiri sendiri dan tidak mengenai suatu fakta yang membuktikan terjadinya tindak pidana dan atau terdakwa yang melakukannya. Misalnya, saksi korban menerangkan bahwa terdakwa memukul korban, tetapi terdakwa menyangkalnya. Satu saksi saja tidak cukup untuk membuktikan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana (penganiayaan) yang terdakwa (Pasal 185 ayat 2). Dalam hal ini hakim penting membentuk alat bukti petunjuk untuk memenuhi syarat minimal bukti menurut Pasal 183.
  2. Kemungkinan kedua, bisa saja ada dua alat bukti yang menghasilkan fakta yang sama tentang suatu kejadian, perbuatan atau keadaan, tetapi dari dua alat bukti belum dapat meyakinkan hakim tentang terjadinya tindak pidana dan tidak meyakinkan hakim tentang terdakwa pembuatanya. Dua atau lebih alat bukti tidaklah dapat memaksa hakim untuk menjatuhkan pidana apabila dari beberapa alat bukti yang ada itu ia tidak yakin tentang terjadinya tindak pidana, atau terdakwa bersalah melakukannya. Untuk keyakinan itu hakim dapat melakukan upaya misalnya, pemeriksaan setempat. Dua alat bukti yang semula belum dapat meyakinkan hakim, bisa jadi setelah melakukan pemeriksaan setempat, hakim dapat membentuk alat bukti petunjuk dari dua alat bukti semula ditambah hasil pemeriksaan setempat atau sidang setempat tadi.
Hanya dalam dua kemungkinan tersebut diatas itu saja, hakim penting untuk mempergunakan haknya membentuk alat bukti petunjuk, apabila tiga syarat/unsur alat bukti petunjuk itu memang ada. Tentu saja alat bukti petunjuk ini dipergunakan untuk memenuhi salah satu atau kedua syarat diatas, sehingga:
  1. Dalam hal kemungkinan yang pertama, alat bukti petunjuk dapat memenuhi syarat minimal pembuktian. Seperti contoh diatas tadi hanya satu saksi korban yang menerangkan bahwa terdakwa memukul korban. Sedangkan terdakwa menyangkal. Ditambah dengan satu lagi alat bukti petunjuk, yang dibentuk misalnya dari keterangan saksi korban tadi dihubungkan dengan muka memar pada muka korban yang tertera dari hasil visum et repertum (alat bukti surat) dan keterangan satu saksi lainnya yakni tetangga korban yang mendengar suara terdakwa marah-marah dari dalam rumah tempat kejadian dan mendengar suara korban yang mengaduh kesakitan, dan melihat terdakwa pergi dari rumah korban. Dengan demikian, keyakinan hakim dapat dibentuk atas dua alat bukti, yakni saksi korban dan petunjuk.
  2. Dalam hal kemungkinan yang kedua,dengan alat bukti yang sudah ada ditambah dengan alat bukti yang sudah memenuhi minimal pembuktian, tetapi belum dapt meyakinkan hakim, maka setelah mempergunakan haknya membentuk alat bukti petunjuk hakim menjadi yakin tentang terjadinya tindak pidana dan terdakwa bersalah melakukannya. Misalnya, dalam hal yang sudah memenuhi syarat minimal 2 alat bukti, yakni saksi A dan B keduanya menerangkan kejadian yang sama yakni terdakwa memukul A, tetapi saksi B yang umurnya telah sangat tua yang dalam sidang menunjukkan adanya gejala pikun yang menyebabkan hakim menjadi ragu tentang keterangannya. Dalam hal demikian, hakim dapat menggunakan haknya membentuk dan mempergunakan alat bukti petunjuk untuk memperoleh keyakinannya tersebut, apabila ada alat bukti yang lain, misalnya sebuah surat dari terdakwa pada korban A yang isinya mengancam dengan kekuasaan
Seperti diatas telah diterangkan,bahwa ada dua bagian persesuaian, yakni:
  1. Persusaian yakni pertama, adalah persusaian antara masing-masing perbuatan, antara masing-masing keadaan, antara masing-masing kejadian atau terhadap yang satu dengan yang lainnya. Artinya, fakta-fakta tentang perbuatan, kejadian dan keadaan yang diperoleh dari dua atau lebih alat bukti keterangan saksi, keterangan terdakwa, dan atau surat, walaupun berbeda-beda, masing-masing ada hubungan erat, atau dapat dihubungkan. Hubungannya itu bersifat saling melengkapi, saling menunjang antara satu terhadap lainnya, sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan (petunjuk) bahwa benar telah terjadi tindak pidana dan terdakwa bersalah melakukannya.
  2. Persusaian yang kedua, adalah persusaian antara perbuatan, kejadian atau keadaan dengan tindak pidana yang didakwakan. Setiap tindak pidana mengandung unsur-unsur. Kompleksitas unsur-unsur itulah yang dinamakan tindak pidana. Oleh karena itu, bersusaian dengan unsur-unsur yang ada, walaupun mungkin isi dari suatu alat bukti yang bersusaian dengan sebagai unsur saja. Namun, dari persusaian alat bukti ini dan isi dari alat bukti lainnya harus dapat menunjukkan (dapat disimpulkan) secara akal telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pembuatnya. Dua persusaian itu sifatnya kumulatif dan impertatif. Artinya, tidak cukup satu persusaian saja, namum harus kedua-dua persusaian

SISTEM PERADILAN PIDANA




Penyelengaraan peradilan pidana merupakan mekanisme bekerjanya aparat penegak hukum pidana mulai dari proses penyelidikan dan penyidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan, sampai pemeriksaan di sidang pengadilan . Atau dengan kata lain bekerjanya polisi, jaksa,hakim,dan petugas lembaga pemasyarakatan, yang berarti pula berproses atau bekerjanya hukum acara pidana. Usaha-usaha ini di lakukan demi untuk mencapai tujuan dari peradilan pidana.
 
Dalam rangka mencapai tujuan dalam peradilan pidana tersebut, masing-masing petugas hukum (Polisi,Jaksa,Hakim) meskipun tugasnya berbeda-beda tetapi mereka harus bekerja dalam satu kesatuan sistem. Artinya, kerja masing-masing petugas hukum tersebut harus berhubungan secara pungsional. Peradilan pidana dipandang sebagai suatu sistem. Karena dalam peradilan pidana tersebut, terdapat beberapa lembaga yang masing-masing mempunyai wewenang dan tugas sesuai dengan bidangnya serta peraturan yang berlaku. Walaupun dalam peradilan pidana itu terdapat berbagi komponen, akan tetapi sasaran semua lembaga tersebut adalah menanggulangi kejahatan (Over coming of crime) dan pencegahan kejahatan (Prevention of crime). Oleh karena itu sistem peradilan pidana itu harus dibangun dari proses proses sosial di dalam masyarakat. Artinya sistem peradilan pidana dalam hal ini harus memperhatikan perkembangan dalam masyarakat.

Pandangan “Hukum sebagai sistem” adalah pandangan yang cukup tua meski arti sistem dalam berbagi teori yang berpandangan demikian itu tidak selalu seragam. Kebanyakan ahli hukum berkeyakinan bahwa teori hukum yang mereka kemukakan di dalamnya terdapat suatu sistem. Tetapi mereka jarang sekali menunjukan tentutan teori mana saja yang diperlukan dalam membangun kualitas sistematis hukum, dan mana saja yang diperlukan untuk membangun kualitas sistematis hukum, dan mana saja yang dapat memberikan deskripsi detail untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Peratama sistem hukum mempunyai sturuktur, dalam hal ini sistem hukum terus berubah, namun bagian-bagian sistem itu berubah dalam kecepatan yang berbeda, dan setiap bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya, ada pola jangka panjang yang berkesinambungan struktur sistem hukum, dengan kata lain adalah kerangka atau rangkain, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Kedua sistem hukum mempunyai subtansi, yang dimaksud dengan subtansi adalah aturan,norma, dan pola perilaku manusia yang nyata dalam sistem hukum. Dan yang ketiga, sistem hukum mempunyai kultur (budaya hukum) adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, di dalamnya terdapat kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya.
  
Istilah dan Pengertian Sistem Peradilan Pidana
Sistem Peradilan pidana, disebut juga sebagai “Criminal Justice Preocess” yang dimulai dari proses penangkapan, penahanan, penuntutan, dan pemeriksaan di muka pengadilan, serta diakhiri dengan pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan.

 Model Sistem Peradilan pidana
Dalam sistem peradilan pidana ini, umumnya dikenal ada tiga bentuk pendekatan, yaitu: Normatif, administratif, sosial.

Pendekatan Normatif memandang keempat aparatur penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) sebagai isntitusi pelaksanaan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata. Pendekatan Administratif memandang keempat penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horizontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi yang berlaku dalam organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut, sistem yang digunakan adalah sistem administrasi. Pendekatan sosial memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilana atau ketidak berhasilan dari empat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang digunakan adalah sistem sosial. Lebih jauh Herbert L.Packer, dalam The Limit Of Criminal Sanction, telah menjelaskan adanya dua model dalam penyelengaraan peradilan pidana. Sebelumnya perlu dijelaskan terlebih dahulu, bahwa penggunaan model yang demikian itu tidak ada dalam kenyataan, atau dengan kata lain bukan sesuatu demikian itu tidak ada dalam kenyataan, atau dengan kata lain bukan sesuatu hal yang nampak secara nyata dalam suatu sistem yang dianut dalam suatu negara, akan tetapi merupakan sistem nilai yang dibangun atas dasar pengamatan terhadap praktek peradilan pidana diberbagai negara Pembedaan yang packer sebutkan adalah sesuai dengan kondisi sosial, budaya, dan struktur masyarakat Amerika Serikat. 

Pemahaman tentang model penyelengaraan peradilan pidana, khususnya di Amerika Serikat, diperkenalkan oleh Packer berdasarkan pengamatannya, ia mengatakan bahwa penyelengaraan peradilan pidana di America Serika, diperkenalkan dua Model: Due Process Model dan Crime Control Model kedua model ini tidak diliat sebagai “IS” Dan “OUGHT” Packer Mengemukakan model-model tersebut sehubungan dengan adanya perbedaan pelaksanaan Proses kriminal. Mengemukakan Herberet L. Packer ciri-ciri kedua model tersebut antara lain
  1. The criminal Control Model tends to the emphasize this adversary aspect of the process. The due process model tends to make it central
  2. The value system that underlies the crime control model is based on the proposition that the respression of criminal conduct is by far the most important funcition to be performed by the criminal proces. In order to achieve this hing purpose, the criminal models requirs that primary attention be paid to the efficiency with which the criminal process operates to scren suspects determine guilt and secure appropriate disposition of prosoon concvicted of crime.
  3. The presumtion of guilt, as it operates in the crime control model. Is the operational expression of that confidenceit would be a mistake to think of the presumtion guilt as the opposite of the presumtion of innocence that we are so used to thinking of as the polestar of the criminal proces and that was well shall see, acuppies an important position in the due process model
  4. if the crime control model resembles an asembely line. The due process model look very much like an abstacle cours.